Rabu, 12 November 2008

PEMBAHARUAN

Kritik Nalar Pembaharuan Indonesia
Oleh Yusep Munawar Sofyan

Tajdid atau yang sering disebut pembaharuan sering disalahpahami oleh sebagian orang yang mengaku mainstream, hal ini setidaknya berlaku pada kalangan umat beragama. Tradisi-tradisi keagamaan cenderung belum mampu menerima ide baru dari para pemikir kontemporer. Pemuka agama menganggap bahwa ide-ide baru tersebut bertentangan dengan ortodoksi (pakem, penj). Penolakan tersebut terlihat sangat jelas dengan adanya alienasi terhadap pemikir diantaranya Kopernikus dalam tradisi Kristen, Spinoza dalam tradisi Yahudi, bahkan pembunuhan terhadap Faraj Fouda dalam tradisi Islam.
Masyarakat dewasa kini merasa ketakutan oleh sesuatu yang dianggap baru. Padahal sesuatu yang baru bukan berarti ingin merusak, namun pembaharuan itu adalah sebuah upaya menjernihkan kembali pemahaman yang terlalu dihegemoni oleh segelintir elit penguasa agama.
Ketidaktahuan dan kemerdekaan masyrakat seolah dibatasi bahkan diperparah oleh sebuah hegemoni yang membelenggu kemerdekaan berfikir masyarakat, dalam hal ini aparatus agama. Para aparatus agama seolah telah memiliki legitimasi tuhan untuk menghukumi sesuatu, baik vs buruk; halal vs haram; sesat vs tidak sesat. Itulah klaim nalar komunitas yang kemudian menjelma menjadi aturan publik.
Aturan-aturan komunitas tersebut kini berubah menjadi aturan publik. Hal ini mengindikasikan bahwa menguatnya nalar “Islamis” warga Indonesia, namun apakah memang benar hal itu merupakan sebuah kesadaran publik, ataukah hanya hegemoni sebagian elit yang merasa “terancam” dengan pandangan-pandangan baru.
Bagaimanapun pandangan baru memiliki akar pijakan yakni pembacaan ulang mengenai pakem-pakem yang telah dianggap mapan. Kuatnya hegemoni kemapanan menyudutkan pandangan-pandangan baru tersebut. Yang lebih ironis lagi hegemoni kemapanan tersebut senantiasa dipaksakan kepada masyarakat untuk diikuti dan ditaati, sehingga yang kemudian muncul adalah klaim kafir;sesat, karena berbeda dengan pandangan pakem tersebut.
Sejak zaman nabi setidaknya tidak akan diketemukan sebuah lembaga yang mengurusi masalah keagamaan bahkan sampai ke ruang privat manusia, hal ini dapat dilihat dari pemegang otoritas penuh pada masa tersebut adalah Nabi secara langsung namun tentunya nabi meminta pendapat dan pandangan kepada para sahabat.
Dalam konteks Indonesia tentu penghakiman “keluarnya fatwa-fatwa” sangat familiar bagi masyarakat, hal ini tentu menurut sebagian kalangan berlandaskan kepada nilai-nilai agama yang mereka anggap telah mengalami perubahan dalam penafsiran oleh sebagian kelompok yang lain, sebut saja dalam hal ini adalah pandangan aliran Ahmadiyah yang dianggap berbeda bahkan dianggap menyimpang oleh mainstream.
Pandangan-pandangan yang kemudian dilontarkan adalah bahwa pandangan Ahmadiyah diangggap keluar dari Ushuliyah (Pokok, penj) pandangan keagamaan Islam. Permasalahan ushul (Pokok) dan furu’ (cabang) tentunya menjadi salah satu penyebab permasalahan tersendiri, karena mana yang disebut ushul dan Furu’ dewasa kini menjadi sangat kabur, tergantung madzhab mana yang menguasai arena pemikiran politis teologis saat itu.
Satu hal yang mungkin bisa menjadi batas pembahasan furu dan ushul adalah perbedaan pandangan antara kaum Sunni dan Syiah. Lantas apakah Furu dan Ushul dalam pandangan dua teologis besar dunia tersebut semuanya sama? Memang terdapat banyak kesamaan namun tidak jarang ditemukan banyak perbedaan antara keaduanya.
Inilah yang menjadi pendasar mengapa masalah-masalah yang kemudian muncul sering dipolitisir oleh kepentingan-kepentingan sekelompok umat yang tidak ingin kehilangan pangsa pasarnya, karena berpindah pandangan kepada hal yang lain.
Nalar Pembaharuan Indonesia

Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia, terbentang dari mulai Sabang sampai Merauke. Ragam etnik, bahasa, budaya bahkan agama menjadi hal yang tak terhindarkan dari bangsa Indonesia.
Awal-awal kemerdekaan khsususnya pada waktu persiapan kemerdekaan dalam BPUPKI dan PPKI, setidaknya permasalahan-permasalahan perbedaan-perbedaan tersebut sering diperbincangkan bahkan diperdebatkan. Pembicaraan dan perdebatan tersebut akhirnya mengkerucut –tidak bermaksud menafikan perdebatan yang lainya– menjadi perdebatan Ideologis antara Islamis dan nasionalis. Perdebatan tersebut melunak dengan keluarnya piagam Jakarta.
Namun dengan keluarnya piagam Jakarta ternyata tidak menyelesaikan masalah terbukti bahwa ada “ancaman” dari wilayah timur untuk mengundurkan diri dari Negara kesatuan Indonesia jika piagam tersebut disahkan. Dengan semangat patriotiknya Soekarno mencabut piagam Jakarta dan mengembalikan konstitusi negara kepada UUD 1945, meskipun tentunya sikap Soekarno tersebut banyak menuai kontroversi.
Kesadaran akan kemajemukan bangsa setidaknya menjadi bahan yang sangat berharga bagi para founding Father kita. Keragaman tersebut dirangkai dalam sebuah Negara kesatuan dengan Falsafah Pancasila dan landskape “Bhineka Tunggal Ika”. Namun Indahnya keversamaan tersebut dinodai oleh oknum-oknum yang ingin mendirikan Negara Indonesia kepada satu madzhab pemikiran dan agama.
Memang keinginan tersebut tidak ada yang melarang, namun apakah masyarakat memang telah menyepakati keinginan tersebut atau apakah memang keinginan tersebut terbersitdari segelintir orang? Perlu penelitian yang komprehensif untuk menjawab pemasalahan tersebut.
Namun dari beberapa pemilihan Umum sebagai sebuah standar demokratisasi masyarakat, setidaknya keinginan bahkan kesadaran untuk mendirikan Negara dengan satu pandangan keagamaan pupus, kerena dari beberapa pemilu demokratis pasca reformasi, partai-partai yang bercorak dan memperjuangkan jargon keagamaan ternyata tidak berubah bahkan kecenderungan berkurang.
Bahkan dari beberapa partai telah merubah oientasi partainya kearah-arah moderat dan menlakukan kompromi terhadap beberapa segi. Mungkin inilah fenomena kekalahan struktural pandangan mainstream, namun kekalahan struktural tersebut tidak diimbangi dengan kekuatan kultural yang semakin mengkhawatirkan dan memberangus kebebasan masyarakat.
Dimensi kultural itulah yang kini sedang diperjuangkan oleh masyarakat Indonesia yang mendambakan perdamaian di atas perbedaan. Bagaimanapun kekerasan, diskriminasi dan intoleransi bukan budaya yang diusung oleh bangsa Indonesia sejak awal mula berdirinya bangsa ini. Apakah Negara ini akan kita relakan dikuasai oleh preman-preman yang mengatasnamakan salah satu pandangan?

Pembaharuan "HIKAYAT GALILEO"

Hikayat
Galileo Galilei

Galileo Galilei lahir di kota Pisa, Tuscany pada tanggal 15 Februari 1564. Putra pertama dari Vincenzo Galilei seorang matematikawan dan musisi asal Florence dan Giulia Ammannati ini, sejak kecil sudah mendapat pendidikan memadai. Pernah belajar di Universitas Pisa jurusan Kedokteran, akan tetapi terhenti sebab masalah keuangan keluarga. Ia mempelajari Matematika dari seorang guru di istana Tuscana bernama Ostillo Ricci. Ia kembali ke Florence dan memulai karirnya sebagai pengarang. Karyanya mengenai neraca hidrostatik (1586) dan pusat gaya berat pada benda (1589) membuatnya menjadi begitu terkenal di seluruh Italia. Lalu, ia beruntung dapat mengajar matematika di Universitas Pisa, dan setelah itu Galileo pindah ke Universitas Padua sebagai Guru Besar untuk mengajar geometri, mekanika dan astronomi hingga tahun 1610. Berikutnya, ia terus mendalami sains dan membuat berbagai penemuan.
Di bidang mekanika, Galileo menganulir pendapat Aristoteles yang mengajarkan, benda yang lebih berat jatuh lebih cepat ketimbang benda yang lebih enteng, dan bergenerasi-generasi kaum cerdik pandai menelan pendapat filosof Yunani yang besar pengaruh ini. Tetapi, Galileo memutuskan mencoba dulu benar-tidaknya, dan lewat serentetan eksperimen dia berkesimpulan bahwa Aristoteles keliru. Yang benar adalah, baik benda berat maupun enteng jatuh pada kecepatan yang sama kecuali sampai batas mereka berkurang kecepatannya akibat pergeseran udara.
Berikutnya, penemuannya mengenai hukum kelembaman. Sebelumnya, orang percaya bahwa benda bergerak dengan sendirinya cenderung menjadi makin pelan dan sepenuhnya berhenti kalau saja tidak ada tenaga yang menambah kekuatan agar terus bergerak. Tetapi percobaan-percobaan Galileo membuktikan bahwa anggapan itu keliru. Bilamana kekuatan melambat seperti misalnya pergeseran, dapat dihilangkan, benda bergerak cenderung tetap bergerak tanpa batas. Ini merupakan prinsip penting yang telah berulang kali ditegaskan oleh Newton dan digabungkan dengan sistemnya sendiri sebagai hukum gerak pertama salah satu prinsip vital dalam ilmu pengetahuan.
Penemuan Galileo di bidang astronomi menempatkan dirinya di catatan sejarah korban penindasan otoritas agama atas kebebasan berpikir. Teori perbintangan di awal tahun 1600-an berada dalam situasi yang tak menentu. Terjadi selisih pendapat antara penganut teori Copernicus yang matahari-sentris dan penganut teori yang lebih lama, yang bumi-sentris. Sekitar tahun 1609 Galileo menyatakan kepercayaannya bahwa Copernicus berada di pihak yang benar, tetapi waktu itu dia tidak tahu cara membuktikannya. Pada tahun 1608 Hans Lippershey, seorang ahli optika Belanda, menemukan teleskop, namun tidak bersedia menerima patennya. Sehingga, kemudian Galileo pun berusaha membuat teleskop sederhana dan ia berhasil menciptakan teleskop dengan kemampuan pembesaran 33 kali. Dengan teleskopnya ini ia berhasil menemukan cincin Saturnus, empat buah bulan Yupiter, gunung-gunung dan kawah di bulan sehingga ia menjadi begitu terkenal di seluruh dunia hingga sekarang. Ia juga menemukan kenyataan bahwa galaksi sebenarnya adalah gugusan bintang yang jumlahnya berjuta-juta.
Sementara penemuan teleskop dan serentetan penemuan ini melempar Galileo ke atas tangga kemasyhuran, dukungannya terhadap teori Copernicus menyebabkan dia berhadapan dengan kalangan gereja yang menentangnya habis-habisan. Pertentangan gereja ini mencapai puncaknya di tahun 1616: manakala dia diperintahkan menahan diri dari menyebarkan hipotesa Copernicus. Galileo merasa tergencet dengan pembatasan ini selama bertahun-tahun. Baru sesudah Paus meninggal tahun 1623, dia digantikan oleh orang yang mengagumi Galileo. Tahun berikutnya, Paus baru ini --Urban VIII-- memberi pertanda walau samar-samar bahwa larangan buat Galileo tidak lagi dipaksakan.
Enam tahun berikutnya Galileo menghabiskan waktu menyusun karya ilmiahnya yang penting Dialog Tentang Dua Sistem Penting Dunia. Buku ini merupakan peragaan hebat hal-hal yang menyangkut dukungan terhadap teori Copernicus dan buku ini diterbitkan tahun 1632 dengan ijin sensor khusus dari gereja. Meskipun begitu, penguasa-penguasa gereja menanggapi dengan sikap berang tatkala buku terbit dan Galileo langsung diseret ke muka Pengadilan Agama di Roma dengan tuduhan melanggar larangan tahun 1616.
Banyak pembesar-pembesar gereja tidak senang dengan keputusan menghukum seorang sarjana kenamaan. Bahkan dibawah hukum gereja saat itu, kasus Galileo dipertanyakan dan dia cuma dijatuhi hukuman enteng. Galileo tidak dijebloskan ke dalam bui tetapi sekedar kena tahanan rumah di rumahnya sendiri yang cukup enak di sebuah villa di Arcetri. Hukuman lain terhadapnya suatu permintaan agar dia secara terbuka mencabut kembali pendapatnya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Ilmuwan berumur 69 tahun ini melaksanakannya di depan pengadilan terbuka. Di kota Arcetri dia meneruskan kerja tulisnya di bidang mekanika. Galileo meninggal tahun 1642.
Bagaimanapun, hikayat Galileo Galilei menunjukkan pada kita bahwa doktrin agama tidak selalu bisa bertahan manakala dikenai objektifikasi yang benar atasnya. Kepercayaan tentang geosentris, yang dihasilkan Aristoteles dan karenanya telah melalui proses ilmiah, ketika telah dianut sebagai sebuah keyakinan dan doktrin agama tidak mampu bertahan menghadapi gelombang saintifikasi ilmiah yang digulirkan Galileo. Maka, otoritas agama kurang tepat bila menghalang-halangi kebebasan berpikir yang mungkin akan membawa kemajuan bagi bumi kita ini. Wallahu'alam bis showab. (BRH)

Pembaharuan

Citra Tuhan Pembaharu
Oleh Tohirin el-Ashry
Peneliti pada Al Ma’un Institute Jakarta, dan Aktivis JarIK jakarta

Berpikirlah tentang ciptaan Allah, jangan berpikir tentang Dzat Allah (tafakkarû fî khalqillâh, walâ tafakkarû fî dzâtillah). Bagi alumnus pesantren, kaidah “warning” ini tentu tak asing lagi. Sejatinya kaidah ini diberlakukan dalam konteks pembahasan sifat-sifat Allah (tauhid asmâ wa sifât) berkenaan dengan sifat Allah: Mukhâlafatuhu lilhawâditsi (Allah Dzat yang berbeda dengan makhluk).
Sifat ini mengandung maksud bahwa Tuhan Allah bersifat ekstra realitas. Dia adalah satu-satunya Dzat yang tiada serupa bagi-Nya (laisa kamitslihî syai`un). Berpikir dan mengandaikan Allah serupa apapun (tajassum) adalah pantangan besar bagi para muwahhidûn (orang-orang yang mengesakan Allah) yang dapat membuat pelakunya terjerembab ke dalam lubang kemusyrikan.
Namun pada gilirannya, kaidah ini disalahpahami sebagai kaidah untuk mengukuhkan dan membakukan salah satu definisi dan satu corak “mazhab bertuhan”. Sebab, pada kenyataannya Tuhan adalah definisi tentang Tuhan itu sendiri yang dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perubahan. Penting kiranya untuk ditambahkan bahwa perubahan definisi ini mensyaratkan batas-batas tertentu di dalamnya. Namun dalam sebuah ruang dialog, tetap saja sulit untuk menentukan mana sebenarnya batasan yang sesungguhnya.
Sejarah mengatakan kepada kita bahwa konsep tentang Tuhan memasuki diskusi teologi yang cukup rumit dengan berbagai farian alirannya. Citra Tuhan memasuki ruang diskusi yang amat masif. Tak bisa dihindari, untuk mengukuhkan sebuah “konsep Tuhan” seseorang harus berargumentasi tidak hanya mengandalkan dalil normatif. Tapi juga argumentasi rasional atas apa yang disebut dengan ilmu kalam.
Bahkan Tuhan memasuki ranah dikusi yang lebih luas lagi sampai pada konsep Tuhan menurut orang-orang yang tidak bertuhan atau Tuhannya orang-orang yang tidak bertuhan. Istilah terakhir kedengaran agak aneh. Namun tidak juga bisa disalahkan sepenuhnya. Sebab, orang-orang yang tidak bertuhan pun ternyata juga mempunyai konsep Tuhannya sendiri-sendiri.
Persepsi citra Tuhan telah memakan diskusi panjang antar berbagai aliran teologi klasik. Sebut saja misalnya Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Sebelum munculnya aliran-aliran ini, citra Tuhan sebenarnya telah ditafsir dengan minimal dua model pendekatan. Pertama, aliran Qadariyah yang mempersepsi Tuhan sebagai Dzat yang demokratis. Kedua, Jabariyah yang mempersepsi Tuhan sebagai sosok yang absolut dan adikuasa.
Kaum sufi beda lagi dalam menghayati citra Tuhan. Al Halaj dan Syekh Siti Jenar termasuk diantara sekian sufi yang cukup menonjol dalam memaknai eksistensi Tuhan. Mereka mendekati Tuhan dengan konsep yang sering disebut dengan penyatuan diri dengan Tuhan (wihdatul wujûd). Kemudian dalam dikursus sufistik juga muncul istilah tajally dan hulûl.
Tajally dan hulûl adalah proses saling dekat-mendekati antara Tuhan dan hamba-Nya. Bedanya, tajally adalah pihak Tuhan yang banyak menghampiri hamba-Nya. Sedangkan hulûl adalah pihak hamba yang banyak menghampiri Tuhannya. Tapi ending-nya sama, yaitu proses penyatuan diri antara hamba dan Tuhannya. Inilah mungkin terjemahan dari innâ lillâhi wa inna ilaihi râji’ûn (dari Allah kembali kepada Allah) dalam perspektif sufistik.
Konsentrasi berpikir tentang hakikat Tuhan ini sampai pada tingkat menggerus penghayatan terhadap manusia (teosentris). Termasuk apa yang dihayati oleh kebanyakan masyarakat kita. Kebenyakan dari mereka masih mempersepsi Tuhan tak jauh-jauh dari dua hal. Pertama, Tuhan adalah penentu segalanya dan penentu kebijakan nasib satu-satunya. Kedua, Tuhan adalah tempat berkeluh kesah dan tempat meratapi segala duka.
Kedua, persepsi ini membuat orang yang bersangkutan kurang perencanaan dalam segala hal dan kehilangan fitalitasnya untuk mengubah keadaan. Dia menjadi begitu lemah dan tak berdaya sebagai pengejawantahan perilaku takwa tingkat tinggi di hadapan Sang Pencipta. Keadaan mengenaskan ini masih ditambah lagi dengan berbasah-basah tangis untuk meratapi Tuhan di majelis-majelis dzikir. Di situlah mereka merasa menemukan puncak ekstase religius tertinggi.
Pada titik inilah kemudian orang-orang yang mengaku tidak bertuhan menciptakan teori Tuhannya. Aliran materialisme macam Karl Marx menuduh Tuhan sebagai biangkerok ketidakberdayaan manusia. Bukan Tuhan yang menciptakan manusia katanya. Tapi justru manusialah yang menciptakan Tuhan. Tuhan ciptaan itu menurutnya justru membuat manusia tidak manusiawi.
Menurutnya Erich Fromm, seorang psikolog yang juga atheis, menyimpulkan bahwa hakikat bertuhan adalah jika manusia benar-benar manusiawi. Menjadi manusia yang berkeadilan, pro kebenaran, dan santun terhadap sesama. Kehausan akan penyatuan diri dengan Tuhan menurutnya hanya refleksi kejiwaan untuk mengatasi kesepian diri yang ia sebut dengan disunited existensi. Mendamba Tuhan hanyalah salah satu pemecahan masalah untuk menemukan jawaban atas problem eksistensi manusia.
Senada dengan Fromm, Nietzche dalam bukunya Beyond God and Evil malah mendeklarasikan kematian Tuhan. Menurutnya Tuhan adalah persepsi menusia tentang sesuatu yang agung pada dirinya. Sejatinya Tuhan yang serba maha itu tak lain adalah bagian teristimewa dari dirinya sendiri. Para pemikir Barat postmodernisme juga tak jauh-jauh dari para pendahulu mereka. Mereka mendefinisikan Tuhan sebagai refleksi pemikiran manusia yang luar biasa (supernatural human mind).
Demikianlah, dari waktu ke waktu, penghayatan atas Tuhan mengalami evolusi. Kendati demikian, orang-orang beriman tentu tak akan bisa menerima konsep Tuhan para atheis ini. Hanya saja kita juga tak bisa menolak sepenuhnya apa yang mereka kemukakan. Dalam konteks ini, kita dapat menempatkan konsep Tuhannya orang anti Tuhan ini dalam kerangka kritik.
Tak dapat dipungkiri. Tuhan kita sekarang memang lebih identik dengan juragan pahala dan juru hukum terhadap hambanya. Citra Tuhan telah direduksi ke dalam wilayah metafisis yang serba ghaib dan jauh dari realitas. Bertemu dengan Tuhan selalu identik dengan isak tangis atas tumpukan dosa dan ketidakberdayaan.
Persepsi tentang Tuhan semacam ini jelas berpengaruh pada realitas sosiologis. Dus, realitas sosiologis sejatinya merupakan terjemahan dari konsep-konsep pikiran manusia, termasuk diantaranya konsep Tuhan. Melihat Indonesia yang notabene sebagai bangsa yang religius, tentu tak bisa meninggalkan untuk melihat mindset masyarakatnya termasuk dalam hal konsep Tuhan ini.
Sekarang yang dibutuhakan adalah konsep Tuhan baru. Konsep Tuhan pembaharu. Dia adalah Tuhan yang menjadi fitalitas hidup. Tuhan yang menjadi rekan berkarya. Menghadap Tuhan adalah tukar pikiran bagaimana memajukan peradaban. Bukan semata-mata menangis dan menyetorkan daftar dosa.
Menghadaplah kepada Tuhan dengan senyum mengembang dan segudang ide untuk didiskusikan dengan-Nya. Biarlah konsep Tuhan lama yang hanya mengingatkan manusia atas dosa-dosa dan pedihnya siksa kubur hanya dipakai untuk orang-orang tua yang umurnya sudah di atas rata-rata dan sudah mendekati liang lahat. Kini saatnya kita berdiri tegak dengan Tuhan kita Yang Maha Progresif dan Maha Pembaharu.

Selasa, 11 November 2008

Pembaharuan

MEMBACA PEMBAHARUAN (TAJDID) HUKUM ISLAM BERSAMA MUHAMMAD SYAHRUR

Oleh : Farid Ridwanullah*

Memahami Kembali Wacana Pembaharuan

Pembaharuan atau tajdid muncul dengan bebagai predikat seperti reformisme, modernisme, revivalisme, fundamentalisme bahkan liberalsime. Tajdid merupakan salah satu bentuk implementasi ajaran Islam setelah kepergian nabi. Oleh karena itu, tajdid merupakan tema yang sebenarnya sudah lama ada dalam dimensi kehidupan kaum muslimin di dunia Islam. Dalam kenyataannya gerakan tajdid muncul dalam bentuk yang beragam dan masing-masing mencerminkan jawaban terhadap persoalan yang mereka hadapi dalam waktu dan tempat tertentu.

Ide tajdid sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari ciri dasar ajaran Islam. Ciri ini diformulasikan dalam bentuk keyakinan bahwa pertama, Islam adalah agama yang universal, misinya adalah rahmat bagi semua penghuni alam (al anbiyâ (21) : 107). Universalitas mencakup semua aspek kehidupan manusia meliputi hubungan antara manusia dengan tuhan, manusia, dan lingkungan. Kedua, adanya keyakinan terhadap Islam sebagai agama terakhir yang diturunkan Allah yang memuat prinsip moral dan ajaran agama untuk semua umat manusia. Dasarnya adalah kehadiran Muhammad sebagai nabi penutup.

Meskipun terdapat perbedaan pandangan mengenai finalitas doktrin kenabian setelah Muhammad yakni antara Sunni dan Syiah, keduanya berbeda dalam dalam memandang ada atau tidak adanya (Holly Man) setelah kematian Muhammad. tetapi hendak dipahami bahwa berhentinya fungsi kenabian tidak berarti terputusnya petunjuk Tuhan kepada umat Islam.

Gerakan tajdid memiliki dua wajah. Pertama, mengembalikan semua bentuk kehidupan beragama pada contoh zaman awal Islam (pristine). Kedua, landasan universalitas ajaran Islam, maka gerakan tajdid kemudian dimaksudkan sebagai upaya untuk mengimplementasikan ajaran Islam sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan. Implementasi ini terutama pada ajaran yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan dan masalah-masalah kemanusiaan.

Wacana tajdid kemudian dihubungkan dengan dasar universalitas Islam yang tidak mengenal batasan geografis maupun etnis yang mencakup semua sunnatullah yang ada di alam ini. Namun sikap universalitas tersebut sering berujung terhadap ambivalensi pandangan terhadap barat, yakni disatu sisi menerima dilain hal menolaknya. Di sini Fazlur Rahman sependapat bahwa kaum muslimin seharusnya tidak menerima sikap yang menutup diri terhadap ide-ide barat, tetapi mengetahui bahwa Islam tidak disamakan dengan barat.

Muhammad Syahrur Daib sebagai salah satu pemikir kontemporer, tertarik memikirkan kelemahan dunia Islam dan pemikiran Islam kontemporer dewasa ini. Menurutnya, pemikiran Islam kontemporer memiliki problem-problem berikut:

Pertama, Tidak adanya metode penelitian ilmiah yang obyektif mengenai kajian Nash (ayat-ayat al-Kitab) yang diwahyukan kepada Muhammad. Kedua, Kajian keislaman dewasa kini sering bertolak dari perspektif lama (pakem) yang telah ada. Ketiga, Tidak dimanfaatkannya filsafat karena ada kecurigaan terhadap Barat. Keempat, Tidak adanya epistemologi Islam yang valid. Dan kelima, Produk fiqh yang ada sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas.

PEMBAHARUAN DALAM PANDANGAN SYAHRUR

Dalam membaca Sahrur, setidaknya harus mengurai pandangan Islam tentang al qur’an dan as sunnah. Dengan mengeksplorasi landasan ontologis filosofisnya. Syahrur memandang bahwa Islam yang dibawa oleh nabi muhammad adalah agama wahyu. at tanzil al hakim (al qur’an) sebagai kitab suci seharusnya tidak terikat ruang dan waktu. Pandangan universalisme ini sebenarnya tidak berbeda dengan pandangan konvensional, yang membedakan adalah mengenai definisi universalisme hukum (al qur’an) itu sendiri.

Universalisme hukum (Al qur’an) tidak berarti bahwa seseorang harus menerapkan hukum-hukum yang tertera dalam (al qur’an) secara apa adanya disemua tempat dan waktu, melainkan bahwa kesesuaian at tanzil al hakim (al qur’an) itu hanya mungkin jika aturan hukum at tanzil al hakim (al qur’an) merupakan hududiyyah hanifiyyah (terdiri dari hukum-hukum yang fleksibel dan elastis) yang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan waktu dan tempat. Hal ini berarti bahwa hukum at tanzil al hakim (al qur’an) adalah ladang untuk melakukan ijtihad dan disesuaikan dengan kondisi-kondisi objektif yang terdapat dalam komunitas manusia.

Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum syahrur menjelaskan landasan ontologis mengapa penafsiran kembali (hermeneutik) ayat-ayat hukum al qur’an perlu dilakukan. Ia memaparkan sebuah diskursus filsafat tentang hubungan antara “al kaynunah” (kondisi berada; das sein; being), “as sayrurah” (kondisi berproses; der prozes; the process), dan ash shayrurah (kondisi menjadi; das werden; becoming). Dia meyakini bahwa relasi antara ketiga kondisi tersebut merupakan suatu keniscayaan alami, dalam arti bahwa tidak ada satu kondisipun yang tidak terikat dengan kondisi-kondisi lain.

Setelah itu syahrur mengaitkan teori dialektika tersebut dengan pemahamannya terhadap at tanzil al hakim (al qur’an). Pertama, dia mengemukakan keyakinan bahwa at tanzil al hakim (al qur’an), baik teks maupun kandungannya adalah wahyu Allah. Karena itu, ia bersifat quddus dalam arti bahwa ia memiliki karakter kehidupan, yakni bahwa wahyu Allah itu eksis pada dirinya, dan pemahaman terhadapnya selalu berkembang dan dinamis, dimana as sayrurah dan ash ashayrurah dalam hal berkesinambungan. Dari sini seseorang dalam mengintrepretasikan at tanzil al hakim (al qur’an) memandang bahwa at tanzil al hakim (al qur’an) diwahyukan kepada generasinya; “seakan-akan Rasululah wafat dan menyampaikan kitab ini kepada kita”. Beranjak dari sini dapat kita pahami bahwa penafsiran terhadap at tanzil al hakim (al qur’an) itu bersifat relatif.

Berangkat dari bangunan berfikir seperti itu, syahrur memandang bahwa pemahaman dan aplikasi nabi Muhammad terhadap hukum at tanzil al hakim (al qur’an) yang biasa disebut dengan as sunnah an nabawiyyah, bukanlah sebagai “wahyu kedua”, melainkan sebagai “pemahaman awal” terhadap at tanzil al hakim (al qur’an), dalam arti ia bersifat terbatas dan relatif. Pandangan seperti itu membawa syahrur pada satu pendapat bahwa nabi Muhammad adalah mujtahid pertama yang telah membumikan/merelatifkan hukum-hukum ilahi yang absolut melalui sunnahnya yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi saat itu. Jelaslah bagi kita bahwa syahrur menekankan realtifitas dalam menafsirkan at tanzil al hakim (al qur’an), dalam arti bahwa setiap generasi mempunyai kebebasan untuk menafsirkan sesuai dengan kebutuhan zaman dan tempat serta sesuai dengan struktur ilmu pengetahuan yang tersedia.

Setelah mengeksplorasi al qur’an dan hadis sebagai dasar ontologis, Syahrur membagi metodenya menjadi dua; pertama, analisis semantik linguistik dan kedua, penerapan ilmu-ilmu eksakta modern seperti matematika analitik, teknik analitik dan teori himpunan.

Metode pertama, syahrur menerapkan teori linguistik yang pernah dilakukan oleh Al Jurjani dalam hal sinonimita (taraduf) dan komposisi (nazm). Dalam menganalisis makna kata-kata dalam Al Qur’an syahrur tampaknya menerapkan analisa “paradigma-sintagmatik”. Analisa paradigmatik adalah sebuah analisa bahasa yang digunakan untuk memahami makna kata dengan cara membandingkannya dengan kata-kata lain yang memiliki kemiripan atau justru memiliki makna yang bertentangan. Teori ketiadaan sinonimitas ini diaplikasikan secara konsisten oleh Syahrur dalam semua karya-karyanya.

Metode lain yang diterapkan oleh Syahrur untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum disebut dengan “metafora saintifik” yang diadopsi dari ilmu-ilmu eksakta modern. Dia juga memperhatikan perkembangan ilmu-ilmu sosial dalam rangka memperkuat penafsirannya. Sebelumnya, ia mengemukakan ketidak puasannya terhadap penafsiran konvesional terhadap ayat-ayat tentang hukum khususnya wasiat dan harta warisan, karena dalam penafsiran konvensional menurutnya terdapat problem-problem epitemologis dan sosial politik. Problem epistemologis yang dimaksud adalah bahwa penafsiran konvensional terhadap ayat-ayat tentang waris masih terpaku pada teori matematika klasik yang terfokus kepada proses penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian (al ‘amaliyyat al hisbiyyah al ‘arba’a). Sedangkan problem sosial politik adalah bahwa tradisi patriarkhis dan politik sangat berpengaruh pada penafsiran konvensional. Dengan demikian, wanita hampir selalu merupakan pihak yang diperlakukan secara kurang adil. Selain itu hukum waris konvensional menekankan perhatiannya kepada bagaian-bagian individu dan bukan kelompok. Wallahu a’lam.

* Aktivis JarIK Jakarta, Kuliah di Univ. Paramadina Jakarta

Senin, 25 Agustus 2008

DISKUSI UI

MASA DEPAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA[1]

Oleh: Kautsar Azhari Noer

Topik yang tertulis di atas dapat berarti semacam ramalan, perkiraan, atau prediksi tentang "nasib" kebebasan beragama di Indonesia pada masa yang akan datang. Maka kita bisa mengajukan pertanyaan: Bagamiana "nasib" kebebasan beragama di Indonesia pada masa yang akan datang? Apakah kebebasan beragama di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim ini akan terjamin? Atau, sebaliknya, apakah kebebasan beragama di negeri yang kita cintai ini justru akan semakin terkekang? Topik makalah ini dapat pula berarti semacam harapan terjaminnya kebebasan beragama di Indonesia pada masa yang akan datang. Dalam konteks ini, kita dapat mengajukan pertanyaan: Kebebasan beragama yang bagaimana yang dibutuhkan di Indonsia pada masa yang akan datang? Apa yang harus dilakukan untuk memperjuangkan kebebasan beragama yang ideal itu di negeri ini?

Pelanggaran Kebebasan Beragama: Situasi Tahun-tahun Terakhir

Mari kita kembali kepada persoalan pertama, yaitu persoalan ramalan, perkiraan, atau prediksi tentang "nasib" kebebasan beragama di Indonesia pada masa yang akan datang. Untuk menjawab persolan ini kita harus mengetahui situasi kebebasan beragama di Indonesia saat ini. Meskipun periode pasca-Soeharto dipandang sebagai era reformasi yang memberikan kebebasan berekspresi kepada warga negara, situasi kebebasan beragama masih sangat menyedihkan. Silakan baca, misalnya, Majalah Syir'ah, No. 49NI/ Januari 2006, dengan ulasan tentang pluralisme, dan Majalah Tempo, Edisi Kemerdekaan, Edisi 14-20 Agustus 006, dengan Liputan Khusus "Sulitnya Hidup Bersama." Kedua majalah ini mengulas berbagai peristiwa kekerasan dan konflik yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.

Syir'ah, majalah yang membela pluralisme dan kebebasan beragama ini, pada edisi itu dalam rubrik-nya yang diberi nama "Syir`atuna," menampilkan judul tulisan yang menyedihkan bagi pencinta kedamaian, yaitu "Belakang Kelabu, Depan Masih Terjal." Ulasan yang ditulis oleh Saudara Mujtaba Hamdi, Pemimpin Redaksi/Penaggung Jawab Syir'ah, ini menggambarkan berbagai peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok keras atas nama agama terhadap kelompok-kelompok keagamaan minoritas dan individu yang dianggap sesat. Mengawali ulasan itu, Mujtaba Hamdi menulis, "Tahun 2005 berlalu dengan berbagai peristiwa yang menyedihkan bagi gerakan pluralisme di negeri ini. Mereka yang berbeda terus disisihkan. Yang memperjuangkan pentingnya menghargai keragaman terkena teror."[2]

Tempo, majalah mingguan yang juga membela kebebasan ini, pada daftar isinya, dengan judul "Sulitnya Hidup Bersama," menampilkan kalimat-kalimat yang meskipun benada menyakitkan bagi para pencinta kedamaian, masih memberi harapan bagi usaha memelihara kemajemukan dalam kedamaian. Kalimat-kalimat itu berbunyi, "Di usia 61

tahun, kemajemukan Indonesia kini seperti menagih ongkos: betapa susahnya hidup bersama. Intoleransi kian menjadi-jadi dan perbedaan dianggap penyakit yang mesti dienyahkan. Korban pun terus bejatuhan. Tapi, itu bukan akhir segalanya. Di penjuru negeri ini selalu ada yang masih percaya bahwa perbedaan bukan dosa, dan mereka

merawat kemajemukantu dalam damai."[3]

Mujtaba Handi membeberkan peristiwa-peristiwa teror dan kekerasan terhadap gerakan pluralisme, kelompok-kelompok minoritas, dan individu-individu yang dianggap sesat.

Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA), sebuah lembaga yang berggiat membela kemajemukan, kebebasan, dan toleransi beragama yang berkantor di Padang, diancam oleh sekelompok orang yang mengaku dari FTPS, Forum Tokoh Peduli Syariah, Sumatera Barat, untuk menghentikan kegiatan membela pluralisme.

Bererapa gereja di Bandung, Garut, Purwakarta, Indrarnayu, dan Semarang, dipaksa untuk ditutup, dibongkar, dan bahkan ada beberapa orang pemimpmriya ditangkap dengan tuduhan melakukan pemurtadan dan Kristenisasi. Para pelaku penutupan gereja-­gereja itu justru bangga dengan "prestasi" mereka. "Kami telah menutup 23 gereja," kata Komandan Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan (AGAP). Kelompok inilah yang rajin melakukan aksi penutupan gereja-gereja di Jawa Barat. "Masih banyak lagi gereja yang akan kami tutup," ujar Komandan AGAP itu dalam wawancara dengan sebuah media nasional. AGAP merasa yakin dengan tindakan semacam itu. Mereka menyatakan bahwa mereka telah mendapat dukungan 21 organisasi massa Islam.[4]

Selama beberapa tahun terakhir, para anggota Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di beberapa daerah di Indonesia (Bogor, Lombok, Tangerang, Kuningan, Cianjur, dan Tasikmalaya) telah menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang menuduh Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Kekerasan itu seakan-akan didorong dan disahkan oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2005 bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat karena aliran ini mengajarkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi. Ajaran ini bertentangan dengan ajaran yang dianut mayoritas kaum Muslim bahwa Muhammad saw adalah nabi terakhir. Di beberapa tempat para penganut Ahmadiyah diancam, dan beberapa masjid dan rumah mereka dirusak dan dihancurkan.

Beratnya tekanan yang dirasakan oleh anggota Ahmadiyah Lombok menyebabkan banyak di antara mereka ingin mencari suaka ke luar negeri. "Tak ada keinginan kami keluar dari negeri ini, kecuali karena terpaksa," kata Ahmad Hidayatullah, Direktur Kampus Mubarak, Parung, dan salah seorang tokoh Ahmadiyahonesia.[5]

Perampasan kebebasan beragama di negeri ini juga menimpa diri Yusman Roy, pemimpin Pondok Pesantren I`tikaf Ngaji Lelaki di Lawang, Malang, Jawa Timur. Roy dihukum penjara selama dua tahun atas tuduhan melakukan penodaan agama, yaitu praktik shalat dalam dua bahasa: Arab dan Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Wilayah Malang mengeluarkan fatwa bahwa shalat dalam dua bahasa yang dipraktikkan oleh Roy telah menyeleweng dari ajaran Islam.

Korban lain pengekangan kebebasan beragama adalah Komunitas Eden. Lia Eden, pemimpin Komunitas itu, dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas tuduhan melanggar Undang-undang Hukum Pidana pasal 335 tentang penodaan agama. Muhammad Abdul Rachman, orang kepercayaan Lia Eden, juga diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada tanggai 23 Agustus 2006, Muhammad Abdul Rachman, setelah melalui beberapa kali persidangan, tetap dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum selama lima tahun penjara, lebih lama dari hukuman penjara selama dua tahun yang telah &,etap atas Lia Eden.

Gangguan terhadap kebebasan beragama dan berkepercayaan tidak pernah berhenti. 'Sepanjang Januri-November 2007, SETARA Institute mencatat 135 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dari 135 peristiwa yang terjadi, tercatat 185 tindak pelanggaran dalam 12 kategori. Masih menurut SETARA Institute,

pelaku 185 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah negara. Negara telah gagal melindungi dan memenuhi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bahkan negara telah bertindak sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia akibat tindakannya yang melarang aliran keagamaan dan keyakinan dan membiarkan warga/organisasi keagamaan melakukan persekusi massal atas kelompok-kelompok keagamaan dan keyakinan.[6]

Sekedar beberapa contoh dapat disebutkan di sini. Sekelompok orang yang tidak dikenal, misalnya, melakukan penyerangan terhadap rumah Asep Rahmat, pimpinan Jama'ah Dzikir Asmaul Husna al-Jabar, di Desa Karyasari, Banyuresmi, Garut. Mereka merusak dua mobil dan tiga sepeda motor. Peristiwa ini terjadi pada Oktober 2007. Sekitar 100 orang warga Enclek Sebrang, Desa Surya Bahari, Pakuhaji, Tangerang, menyerbu kelompok Pengajian Nurul Yaqin di kampung itu pada Selasa, 6 November 2007. Mereka tidak hanya mengusir para jamaah Pengajian itu, tetapi juga membakar rumah dan merusak kendaraan pemilik rumah.[7] Pada tanggal 10 Oktober 2007, sekitar 100 orang yang sebagian warga kampung Janggol, Desa Pamulihan, Kecamatan Cisurupan, Garut, menghancurkan Masjid Assalam Mirza di Kampung Pangauban, Cisurupan, Garut. Masjid itu adalah milik Ahmadiyah di Kampung itu. Banyak di antara jemaah Ahmadiyah melarikan diri dari desa mereka untuk menghindari aksi massa. Ratusan orang yang mengatasnamakan warga Tana Beru, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba, Sulawesi Selatan, menyerang sebuah rumah yang diyakini sebagai tempat ibadah jemaah Tarekat Naqsyabandivah pada 17 Novemver 2007, pukul 22.30 WITH. Rumah itu hancur dan rata dengan tanah. Beberapa orang terluka, Andi Muhammad Ridwan, pimpinan tarekat ini. Salah satu peristiwa yang menodai citra kebebasan beragama di Indonesia belum lama ini adalah pelarangan Menteri Agama HM Maftuh Basyuni atas Nasr Hamid Abu Zayd untuk menjadi pembicara pada Seminar Internasional di Malang yang digelar pada Selasa, 27 November 2007. Pelarang itu diterima Abu Zayd setelah dirinya tiba di Surabaya pada Ahad, 25 November 2007. Pelarangan itu, menurut sebuah sumber, dilakukan karena tekanan dari pihak yang menamakan diri masyarakat dan organisasi Islam. Kesempatan itu digunakan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk mengundang Abu Zayd sebagai pembicara pada diskusi dan jumpa pers dengan tema "Islam dan Kebebasan Berpikir" di Kantor The WAHID Institute, Jakarta, pada Senin, 26 November 2007.[8]

Para penganut agarna-agama suku dan aliran-aliran kepecayaan di Indonesia masih mengalami nasib yang menyedihkan berkaitan dengan kebebaan beragama. Hak sipil mereka masih terganjal hanya karena mereka menganut agama-agama suku dan aliran­aliran kepercayaan itu. Mereka sulit, bahkan banyak tidak bisa, memperoleh akta pernikahan dan akta kelahiran dari Kantor Catatan Sipil. Mereka baru mendapat kemudahan mengurus akta pernikahan dan akta kelahiran jika mencantumkan kata "Islam," misalnya, dalam kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) meskipun Islam bukan agama yang mereka anut.

Pengekangan kebebasan beragama kelompok-kelompok minoritas di Indonesia menimbulkan beberapa akibat yang membuat mereka mengalami penderitaan dan kesulitan dalam kehidupan keagamaan, sosial, dan ekonomi. Dalam kehidupan keagamaan, kebebasan beragama bagi mereka tidak terjamin. Mereka tidak bisa leluasa melakukan ibadah meski di daerah mereka sendiri. Dalam kehidupan sosial, mereka sering dicaci-maki, dibenci, dan dimusuhi karena dianggap sesat. Perlakuan sosial yang tidak adil ini menimbulkan kesulitan ekonomi bagi mereka karena akses-akses ekonomi tertentu tertutup bagi mereka.

Salah satu akibat buruk dari pembungkaman kebebasan adalah keterpaaksaan bagi orang yang kebebasannya dibungkam untuk berperilaku pura-pura. Tidak sedikit anggota kelompok keagamaan dan kepercayaan minoritas di Indonesia terpaksa beirperilaku pura‑

pura untuk mencari aman dan kelancaran urusan kehidupan sehari-hari. Seorang anggota aliran kepercayaan atau kejawen, yang tidak menganut salah satu agama besar yang diakui secara resmi oleh negara, misalnya, terpaksa mencantumkan kata "Islam" dalam KTP-nya pada kolom agama agar segala urusan kehidupan sehari-harinya, seperti

mencari kerja dan pernikahan, berjalan dengan lancar. Jika dia tidak mencantumkan kata "Islam" dalam KTP-nya, dia akan mendapatkan banyak kesulitan dalam banyak urusan. Saya memperoleh informasi dari seorang teman yang dapat dipercaya bahwa ada seorang penganut suatu aliran kepercayaan, meskipun tidak menganut Islam, terpaksa, mencantumkan kata "Islam" dalam KTP-nya untuk kelancaran urusan hidupnya. Dia menikah dengan hukum syariat Islam melalui legalitas KUA untuk kelancaran urusan pernikahannya. Kalau ia tidak melakukan hal itu, maka ia tidak akan mendapatkan legalitas pemikahan dari negara.

Harapan Yang Masih Hidup

Situasi kebebasan beragama yang menyedihkan di Indonesia selama beberapa tahun terakhir tampaknya tidak memberikan harapan yang menggembirakan bagi masa depan kebebasan beragama di negeri yang tercinta ini. Namun demikian, harapan untuk masa depan kebebasan beragama yang lebih balk tetap hidup. Benar apa yang ditulis dalam Tempo hampir dua tahun lalu, seperti dikutip di atas, bahwa masih banyak orang yang memeliliara. kemajemukan Indonesia. "Di usia 61 tahun, kemajemukan Indonesia kini seperti menagih ongkos: betapa susahnya hidup bersama. Intoleransi kian menjadi-jadi dan perbedaan dianggap penyakit yang mesti dienyahkan. Korban pun terus berjatuhan. Tapi, itu bukan akhir segalanya. Di penjuru negeri ini selalu ada yang masih percaya bahwa perbedaan bukan dosa, dan mereka memilih merawat kemajemukan itu dalam damai." Demikian tertulis dalam majalah mingguan bergengsi ini. Masih banyak kelompok yang menyuarakan pluralisme dan kebebasan beragama seperti: P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), LAKPESDAM (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manus-ia) NU (Nandhatul Ulama), Paramadmia, LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat), MADIA (Masayarakat Dialog Antar Agama), Desantara, ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), IPI (Institut Pluralisme Indonesia), JIL (Jaringan Islam Liberal), ICIP (International Center for Islam and Pluralism), dan The Wahid Intitute.

Keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang pengharaman pluralisme agama ternyata tidak menyurutkan langkah para pembela pluralisme agama di Indonesia. Para pembela pluralisme mengadakan pertemuan-pertemuan untuk menentang fatwa MUI itu. Gus Dur dan sejumlah tokoh agama, bersama Aliansi Masyarakat Madani, mengadakan jumpa pers pada Jumat, 29 Juli 2007 di Kantor Pengurus Besar Nandhatul Ulama, Jakarta, untuk menyatakan sebuah sikap, terhadap fatwa MUI itil. Melalui pertemuan itu, Gus Dur menghimbau masyarakat agar tidak mendengarkan fatwa MUI itu; khususnya tentang Jamaah Alanadiyah Indonesia yang dinyatakan sesat. Para tokoh dari berbagai latar belakang berkumpul lagi di rumali kediaman Gus Dur pada Kamis, 4 Agustus 2005, untuk menyuarakan perlawanan mereka terhadap pengharaman pluralisme. Dan masih banyak pertemuan yang sejenis.

Setelah keluarnya fatwa MUI itu. karya-karya yang mendukung pluralisme justru semakin semakin meningkat jumlahnya. Paling tidak, sebelum akhir tahun 2006, saya mencatat bahwa, di luar artikel-artikel dan esai-esai dalam surat kabar, majalah, dan jurnal, paling sedikit lima karya, baik asli dalam bahasa Indonesia maupun terjemahan, yang mendukung pluralisme, telah terbit. Lima karya itu adalah: Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran menyikapi Perbedaan, oleh Jalaluddin Rakhmat (Jakarta, 2006); Kredo Kebebasan Beragama, oleh Zakiyuddin Baidhawi (Jakarta, 2006); Melampaui Pluralisme: Etika al-Quran tentang Keragaman Agama, oleh Hendar Riyadi (Jakarta, 2006); Doktrin Pluralisme dalam al-Ouran, oleh Gamal al-Banna (Bekasi, 2006); dan Islam, Pluralisme, & Toleransi Keagamaan: Pandangan al-Quran, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, oleh Mohamed Fathi Osman (Jakarta, 2006). Karya ini telah diterbitkan dalam terjemahan Indonesianya pada 2002, yaitu Kesetaraan Kaum Beriman: Akar Pluralisme Demokratis dalam Islam, oleh Abdulaziz Sachedina, dicetak ulang pada 2007. Karya lain yang merupakan sebagai pembelaan terhadap kebebasan dan toleransi beragama adalah karya Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme, yang terbit pada 2008.

Kebijakan baru pemerintan tentang agama Khonghucu memberikan harapan yang menggembirakan bagi para penganut agama Khonghucu. Menteri Dalam Negeri mengeluarkan surat tentang pelayanan admistrasi kepedudukan penganut agama Khonghucu. Melalui surat nomor 470/336/SJ yang bertanggal 24 Februari itu, Menteri Dalam Negeri meminta kepada seluruh Gubemur, Bupati, dan Wali Kota untuk memberikan pelayanan administrasi kependudukan kepada penganut agama Khonghucu dengan menambah keterangan agama Khonghucu pada dokumen adiminstrasi kependudukan yang digunakan selama ini. Surat Menteri Dalam Negeri ini menyusul keluarnya surat Menteri Agama nomor MA/12/ 2006 tanggal 24 Januari perihal penjelasan mengenai status perkawinan menurut agama Khonghucu dan pendidikan agama Khonghucu, yang menegaskan bahwa:

a. Masih berlakunya UU Nomor I./PNPS/1- 965 khususnya dalam penjelasan agama­agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Khonghucu.

b. Selanjutnya berkaitan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawman Pasal 2 ayat-(I) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dalam hal ini Departemen Agama memperlakukan perkawinan para penganut agama Khonghucu yang dipimpin oleh Pendeta Khonghucu adalah sah.

Kita mengharapkan kebijakan pemerintah ini, yang disampaikan melalui surat Menteri Agama dan surat Menteri Dalam Negeri ini, tidak mendapat hambatan dalam pelaksanaannya. Jangan terulang lagi tindakan terpaksa dan pura-pura yang dilakukan oleh saudara-saudara kita para penganut agama Khongcucu untuk mencatumkan kata "Buddha," misalnya, agar mereka memperoleh kemudahan pelayanan administrasi kependudukan dan pengakuan sahnya perkawinan mereka.

Kita mengharapkan negara mempunyai kemauan baik dan mampu melindungi setiap warganya untuk menjalankan agama dan kepercayaannya tanpa gangguan. Negara tidak berhak mengatur aspek pribadi agama dan keperrcayaan yang bersifat individual. Negara bartugas ibarat polisi lalu lintas yang mengantur lalu lintas agama agar kendaraan­kendaraan agama tidak bertabrakan dan mengalami kecelakaan.

Khatimah: Rekomendasi

Pada akhir tulisan sederhana ini, ada baiknya diberikan beberapa rekomendasi sebagai upaya memelihara, melindungi dan menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan. Pertama, mendesak pemerintah untuk menindak tegas para pelaku kekerasan, baik fisik maupun non-fisik-, terhadap kelompok-kelompok keagamaan dan kepercayaan lain, dalam menyikapi perbedaan keagamaan dan kepercayaan. Kedua, mendesak pemerintah untuk tidak tunduk kepada penghakiman massa dan kepada organisasi keagamaan tertentu yang memberikan fatwa sesat atas kelompok dan paham keagamaan dan kepercayaan tertentu. Ketiga, mendesak pemerintah untuk melindungi dan menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan bagi semua warga negara Republik Indonesia tanpa memandang agama dan kepercayaannya. Keempat, mencabut peraturan perundang-undangan yang (dianggap) membatasi kebebasan beragama dan berkepercayaan, dan mencegah munculnya berbagai peraturan perundang-undangan yang membatasi kebebasan beragama dan berkepercayaan. Kelima, mendesak pemerintah membuat undang-undang yang melindungi dan menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan yang dapat diterima oleh semua kelompok keagamaan dan kepercayaan. Keenam, mendesak pemerintah menjadi wasit dalam pertikaian intra dan antar umat beragama sesuai dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang disepakati itu tanpa mengganggu kebebasan beragama dan berkepercayaan.



[1] Disampaikan pada Kuliah Umum dan Dialog Publik dengan tema „Membincang Polemik Kebebasan Beragama di Indonesia,“ yang diselenggarakan oleh Jaringan Islam Kampus (JarIK) Jakarta dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, pada Selasa, 15 April 2008, di Auditorium Pusat Studi Jepang (PSJ) Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

[2] Mutjaba Hamdi, “Belakang Kelabu, Depan Masih Terjal,“ Syir’ah, No. 49/VI/Januari 2006, h.18.

[3] Tempo, Edisi Kemerdekaan, Edisi 14-20 Agustus 2006, h. 4.

[4] Hamdi, “Belakang Kelabu,” h. 19-20.

[5] Tempo, “Edisi Kemerdekaan,” h. 41

[6] Tunduk Pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara atas Persekusi Kebebasan Beragama & Berkeyakinan (Jakarta: SETARA Institute, 18 Desember 2007), h. 2.

[7] Monthly Report on Religious Issues, diterbitkan oleh The WAHID Institute, Edisi 4, November 2007, h. 5-6, 8

[8] Monthly Report on Religious Issues, Edisi 5, Desember 2007, h. 1, 4, 6.

wawancara JarIK dengan KAN

Transkrip wawancara Telisik dengan Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer (KAN)

Ketika persoalan kekerasan muncul dengan bermotifkan agama, maka timbul beragam tafsir dalam menyikapi hal ini. Kebanyakan orang lebih mudah menjawab dengan menuduh agama sebagai biang keladi, dan banyak pula yang secara apologetik mengelak kekerasan sebagai bagian dari agama. Untuk itu, redaksi Telisik memilih Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer untuk kami wawancarai guna menghadirkan salah satu persepektif dari tema besar agama dan kekerasan.

Telisik :

Dalam sejarah agama-agama, selain Islam, adakah tradisi kekerasan termaktub di dalamnya?

KAN :

Sejarah mencatat, setiap muncul agama baru biasanya akan diikuti dengan penentangan oleh agama lama. Ketika Nabi Isa lahir, ia dimusuhui oleh pendeta-pendeta Yahudi, hingga akhirnya disalib. Penentangan atas nama agama ini tidak hanya berlaku diantara agama-agama Ibrahim saja, tetapi seluruh agama Permusuhan itu dilakukan semata-mata atas nama agama, dan termasuk sebagai bentuk kekerasan. Penentangan ini bukan hanya dilakukan terhadap agama baru, melainkan juga terhadap sekte-sekte baru yang berbeda dengan sekte mainstream. Setiap sekte baru akan dimusuhi oleh aliran yang sudah pakem. Inilah kenyataan sejarah agama. Dalam tradisi Kristen, saat lahirnya Protestan menimbulkan pertentangan hebat hingga berdarah-darah dan memakan korban selama puluhan tahun. Umat Protestan dianggap membuat paham atau agama baru. Seseorang bisa membunuh atau melukai orang lain sebab perbedaan faham atau keyakinan agama. Persoalan teologis ini sudah dicampuri dengan kepentingan politis. Kasus lainnya terjadi dalam konteks klaim penyalahgunaan atau penodaan agama. Misalnya kisah hidup ilmuwan Galileo dan Copernicus, di mana mereka dianggap menyalahi doktrin al-Kitab. Copernicus dibunuh sebab menentang doktrin gereja, dengan mengatakan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari, dan bukan sebaliknya seperti yang diyakini gereja. Kekerasan atau permusuhan atas nama agama juga diarahkan pada penggagas teori evolusi., yang juga dianggap menyimpang dari doktrin agama. Pelanggaran-pelanggaran terhadap doktrin agama ini sekarang lazim disebut sebagai penodaan agama. Klaim-klaim penodaan agama itu terus berlangsung hingga kini.

Telisik :

Problemnya apakah kekerasan tersebut berasal dari teks agama ataukah problem penafsiran belaka yang disebabkan ambivalensi teks agama?

KAN :

Pasti itu problem penafsiran. Bila orang-orang yang melakukan kekerasan agama ditanya, mereka pasti menjawab bahwa mereka tidak bermaksud melakukan kekerasan. Namun, implikasi dari penafsiran yang eksklusif berdampak pada sikap keberagamaan yang kaku dan fanatik pada penafsiran aliran atau sekte sendiri. Mereka menganggap bahwa tafsir itu tunggal dan milik mereka sendiri. Padahal, kitab suci sangat terbuka untuk beragam tafsir. Al-Qurán saja tidak diberi catatan kaki oleh Tuhan sendiri. Itulah sebabnya, maka muncullah banyak ilmu tafsir, yang saling berbeda-beda. Sayangnya, terdapat kelompok fanatik yang memonopoli tafsir dan menginginkan tafsir tunggal. Lalu, atas nama tafsir eksklusif tersebut mereka melakukan kekerasan.

Namun, khusus di dalam Katolik lain lagi. Katolik sangat sentralistik. Jadi, di Katolik itu ada peraturan-peraturan untuk internal sendiri. Faham dan ajaran keagamaan harus sesuai dengan Vatikan. Juga buku-buku yang akan diterbitkan atas nama Katolik harus diperiksa terlebih dahulu supaya sesuai dengan Vatikan. Bila menentang aturan ini, maka seseorang bisa dikeluarkan dari Katolik. Jadi, kebebasan dibatasi sesuai dengan faham Katolik. Saya kira, untuk kasus Katolik, tidak bisa juga disalahkan seratus persen, dikarenakan faham Katolik yang memang sudah seperti itu. Meskipun demikian, ternyata justru filsafat tumbuh subur di dunia Katolik. Sebaliknya, kelompok fundamentalis malah berasal dari Protestan.

Telisik :

Lantas, adakah agama yang secara genuine tidak ada celah untuk melegitimasi tafsir kekerasan? Bagaimanakah halnya dengan agama Budha?

KAN :

Mungkin memang agama Budha itu agama yang paling damai, karena ajarannya banyak yang terkait dengan kemanusiaan seperti terlihat dalam prinsip-prinsip dasar ajarannya. Di dalam ajaran Budha, kita mungkin tidak akan menemukan ajaran-ajaran seperti potong tangan dalam syariát Islam. Agama Budha lebih sering menyebutkan perihal kasih sayang, kedamaian, pengorbanan, termasuk penghargaan terhadap makhluk hidup yang tidak boleh dibunuh. Karenanya kecenderungan gaya hidup mereka menjadi vegetarian. Bisa jadi larangan membunuh makhluk hidup itu karena menghindari kekerasan. Hal ini bisa jadi ditemukan pula dalam agama-agama lainnya seperti Jainisme dan Hinduisme. Namun, tidak bisa juga dikatakan bahwa hal ini sepenuhnya tidak berlaku dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam. Karena di dalamnya terdapat kelompok-kelompok sufisme atau tasawuf, di mana ajaran cinta kasih sangat kuat juga. Kita tidak bisa mengeneralisir, namun kan yang lebih dominan yang mana. Sekarang orang hidup berpolitik, berekonomi, berinteraksi dengan masyarakat-masyarakat lain, meski pengaruh agama tetap sangat besar. Peperangan atau konflik di dunia, walau pelakunya sebagian beragama tertentu, tidak otomatis problemnya terletak pada agama yang dianutnya tersebut. Bisa jadi problemnya adalah etnisitas dan politik. Terkadang, masalah agama campur aduk dengan kepentingan politis dan etnisitas. Dalam agama-agama timur, faktor agama ini lebih cair ketimbang pada agama-agama semitik, dalam hal konflik agama. Akhirnya, kita tidak bisa gegabah dalam melihat satu kasus, lantas mengenaralisir bahwa agama tertentu itu keras seluruhnya.

Telisik :

Bagaimana cara membedakan mana faktor yang lebih dominan dalam kasus kekerasan, antara faktor agama ataukah faktor politik, manakala agama masuk ke dalam ranah politik?

KAN :

Untuk menganalisis hal tersebut, maka harus diperiksa terlebih dahulu bagaimana faham teologisnya. Misalnya, dalam kasus Ahmadiyah, ada orang yang faham teologisnya tidak anti Ahmadiyah, akan tetapi secara politis dia mendukung isu anti Ahmadiyah. Bahkan, bisa jadi dia sebenarnya tidak paham bagaimana sebetulnya teologi Ahmadiyah. Jadi, harus dilihat bagaimana basis teologis yang dianutnya. Apakah eksklusif atau pluralis. Di samping itu, juga harus dilihat per kasus. Misal, bila tetangga Anda ada yang menginjak-injak Al-Qurán, maka sangat mungkin itu disebabkan faktor agama. Terlepas, apakah yang menginjak-injak itu orang kaya atau orang miskin. Contoh lainnya, kasus konflik di Maluku. Sangat jelas bahwa agama memang menjadi faktor utama konflik itu, namun harus dilihat lagi bahwasanya memang ada kelompok-kelompok yang sengaja memainkan isu agama itu demi kepentingan politisnya. Inilah contoh di mana saat faktor politis satu suara dengan faktor agama, sehingga menampakkan bentuk kekerasan yang nyata. Namun, sekali lagi, kita harus memperhatikan secara partikular kasus per kasusnya, dan karenanya tidak bisa digeneralisir.

Telisik :

Beberapa kasus bernuansa agama seringkali dikaitkan dengan pasal penodaan agama, bagaimana menurut bapak?

KAN :

Istilah penodaan agama itu sendiri tidak jelas dan bisa diberi multitafsir. Penodaan agama bisa diartikan secara berbeda dan bisa sangat luas. Sangat mungkin, setiap penafsiran yang berbeda bisa disebut sebagai penodaan agama. Karenanya, hal ini sangat menyakitkan. Kata penodaan agama ini bagi saya sangat fleksibel dan tergantung pada kepentingan apa dan siapa. Bisa saja kan dengan pasal penodaan agama itu, Syiáh disebut menodai agama. Misal, faham mereka bahwa imam itu maksum, padahal kepercayaan umum kan tidak. Umat Syiáh juga mengatakan bahwa para imam itu mengeluarkan hadits. Sebaliknya, kita percaya bahwa hanya Nabi yang mengeluarkan hadits. Hal yang mungkin terjadi pada Syiáh ini mungkin sudah menimpa Ahmadiyah secara aktual. Akan tetapi, bila seseorang atau suatu kelompok menginjak-injak Al-Qurán, itu jelas salah.

Telisik :

Jadi, untuk bisa memecahkan problem sekarang ini, di mana kekerasan atas nama agama banyak sekali terjadi di Indonesia, pada level mana dulu penyelesaian masalah dilakukan?

KAN :

Saya kira, dialog antar agama dan intra agama-beda faham. Tapi, memang dialog tidaklah mudah, sebab ada kelompok-kelompok atau orang yang tertutup. Untuk jangka panjang, saya kira level pendidikan yang harus dibenahi. Pendidikan yang diajarkan kepada para siswa yang mengajarkan kebencian pada kelompok lain kan masih banyak. Praktik pendidikan yang seperti ini seharusnya dibenahi. Hal lainnya, kondisi sosial-ekonomi masyarakat harus diatasi juga. Sebab, banyak orang-orang miskin dan menganggur yang sangat mudah diprovokasi. Sehingga, bila mereka dibayar dengan sedikit uang saja, mereka bersedia untuk melakukan berbagai aksi anarkis. Jadi, memang banyak unsur yang mempengaruhi terjadinya kekerasan atas nama agama. Tingkat pendidikan masyarakat juga sangat berpengaruh. Di samping juga, unsur politis yang sengaja menggunakan isu agama untuk merebut kekuasaan. Terlebih, Indonesia saat ini mendekati masa Pemilu 2009 kan. Agama bisa dijadikan komoditas politik yang efektif. Kesemua faktor-faktor ini berjalan bersamaan.

Telisik :

Jadi, bisa kita disimpulkan bahwa tidak mungkin agama secara natural mengajarkan kekerasan?

KAN :

Tentu saja. Tapi, kita jelas harus toleran dengan tafsir lain yang berbeda. Jangan dikatakan, karena berbeda tafsir maka suatu kelompok dianggap mengobok-obok Al-Qurán.

Telisik :

Jadi, bisa juga disimpulkan bahwa sampai kapan pun persoalan agama tidak akan pernah dapat terpecahkan?

KAN :

Jelas. Sampai kiamat tidak akan pernah berakhir. Sebab, tidak akan ada kebaikan tanpa adanya kejahatan. Tapi, biarpun demikian, Anda jangan berpihak pada kejahatan. Anda juga tidak mungkin menyatukan sebuah perbedaan, terlebih perbedaan faham agama. Tafsir itu tidak tunggal. Kategori kekerasan juga tidak hanya berupa kekerasan fisik saja. Mengancam keyakinan orang lain juga termasuk kategori kekerasan. Bayangkan saja, Anda menganut sebuah faham, lalu faham yang Anda yakini itu dilarang oleh orang lain. Itu kan jelas kekerasan. Ketika seseorang melarang orang lain, orang itu harus berpikir bagaimana kiranya bila dirinyalah yang dilarang. Jelas orang itu akan keberatan juga kan. Ajaran agama-agama juga sejatinya mendukung perihal penghargaan dan cinta kasih terhadap orang lain. Prinsipnya, kekerasan terjadi ketika seseorang membuat orang lain tidak nyaman. Termasuk, di dalamnya diskriminasi.

Telisik 2

Resensi

Oleh : Yusep Munawar Sofyan

Judul : Melawan ‘Tentara Tuhan’; Yang Berwenang dan Yang Sewenang-wenang dalam Wacana Islam.

Penulis : Khaled M Abou El Fadl

Penerbit : Serambi

Keter-asing-an. Setidaknya, itulah kata yang tepat untuk mewakili kondisi kaum Muslim saat ini. Tatanan komunitas Muslim saat ini seolah tidak memiliki ruang interaksi. Mereka seolah telah ter-asing-kan dari tatanan sosial masyarakat. Itulah kesimpulan yang didapatkan Khaled M Abou El Fadl dalam pandangannya atas kondisi kaum Muslim saat ini, yang kemudian ia paparkan secara komperhensif dalam bukunya yang berjudul “Melawan ‘Tentara Tuhan’; Yang Berwenang dan Yang Sewenang-wenang dalam Wacana Islam”.

Fadl cenderung melihat adanya sebuah ketakutan dan ketidak berdayaan kaum Muslim –khususnya Muslim puritan dan Wahabisme- dalam menapaki jenajng kehidupan dunia yang sarat dengan fenomena dan pluralitas. Kondisi tersebut kemudian berkonsekuensi pada lahirnya klaim-klaim keagamaan yang bersifat eksklusif-radikal. Pandangan yang kemudian menggelindinkan klaim subjektif bahwa Islam yang benar adalah Islam Ahl as Sunnah wal al Jamma’ah.

Bertolak dari pandangan eksklusif-subjektif tersebut, Fadl kemudian mencoba mengambil segmen dengan berupaya ofensif guna menentang ‘mereka’ yang bobot moral hukum Islam dalam menggagas panmdangan keagamaannya. (Fadl, 36)

Menurut Fadl, fenomena keagamaan yang berkembang dalam tatanan masyarakat kerap ter-politisasi. Sehingga, cenderung berkembang pandangan bahwa pandangan mayoritas lah yang benar. Pada titik ini Fadl kemudian melayangkan kritik ofensifnya dengan berpendapat “Umat Islam boleh berusaha keras untuk menemukan kehendak Tuhan, tetapi tidak seorang pun yang memiliki otoritas untuk mengajukan klaim eksklusuf atas kebenaran itu. (Fadl, 40)

Fadl menambahkan, Tuhan tidak menuntut kebenaran objektif dan tunggal. Namun, Tuhan menghendaki agar umat manusia mencari kehendak Tuhan dan berusaha meneguhkannya. Kebenaran tersebut adalah sebuah kebenaran sejati yang dicari melalui pengembaraan keagamaan yang ofensif.

Otoritas yang patut dihargai sebagai kekuatan otoritatif adalah teks keagamaan itu sendiri. Namun, menjadi problematika keagamaan selanjutnya yaitu upaya interpretasi atas teks tersebut kerap ‘menjebak’ sang interpretator pada klaim subjektif akan kebenaran interpretasinya. Oleh karena itu, Fadl selalu memperingatkan manusia agar tidak berupaya memaksakan interpretasinya kepada pihak lain. Dalam artian, Fadl masih membuka ruang toleransi dan pluralitas bagi berbagai interpretasi atas teks. Sehingga nantinya akan lahir berbagai interpretasi yang beragam sesuai dengan pandangan sang interpretator. Sebab, teks itu otoritatif, namun tidak otoriter.

Alhasil, melalui bukunya ini, Khaled M Abou El Fadl mecoba memperingatkan umat Islam agar tidak mencoba menjadi ‘tentara Tuhan’ yang kerap melayangkan klaim subjektif-eksklusif atas Islam dan memaksakannya pada pihak lain. Sehingga nantinya akan terbentuk sebuah peradaban Islam yang plural, toleran dan damai.