Rabu, 12 November 2008

PEMBAHARUAN

Kritik Nalar Pembaharuan Indonesia
Oleh Yusep Munawar Sofyan

Tajdid atau yang sering disebut pembaharuan sering disalahpahami oleh sebagian orang yang mengaku mainstream, hal ini setidaknya berlaku pada kalangan umat beragama. Tradisi-tradisi keagamaan cenderung belum mampu menerima ide baru dari para pemikir kontemporer. Pemuka agama menganggap bahwa ide-ide baru tersebut bertentangan dengan ortodoksi (pakem, penj). Penolakan tersebut terlihat sangat jelas dengan adanya alienasi terhadap pemikir diantaranya Kopernikus dalam tradisi Kristen, Spinoza dalam tradisi Yahudi, bahkan pembunuhan terhadap Faraj Fouda dalam tradisi Islam.
Masyarakat dewasa kini merasa ketakutan oleh sesuatu yang dianggap baru. Padahal sesuatu yang baru bukan berarti ingin merusak, namun pembaharuan itu adalah sebuah upaya menjernihkan kembali pemahaman yang terlalu dihegemoni oleh segelintir elit penguasa agama.
Ketidaktahuan dan kemerdekaan masyrakat seolah dibatasi bahkan diperparah oleh sebuah hegemoni yang membelenggu kemerdekaan berfikir masyarakat, dalam hal ini aparatus agama. Para aparatus agama seolah telah memiliki legitimasi tuhan untuk menghukumi sesuatu, baik vs buruk; halal vs haram; sesat vs tidak sesat. Itulah klaim nalar komunitas yang kemudian menjelma menjadi aturan publik.
Aturan-aturan komunitas tersebut kini berubah menjadi aturan publik. Hal ini mengindikasikan bahwa menguatnya nalar “Islamis” warga Indonesia, namun apakah memang benar hal itu merupakan sebuah kesadaran publik, ataukah hanya hegemoni sebagian elit yang merasa “terancam” dengan pandangan-pandangan baru.
Bagaimanapun pandangan baru memiliki akar pijakan yakni pembacaan ulang mengenai pakem-pakem yang telah dianggap mapan. Kuatnya hegemoni kemapanan menyudutkan pandangan-pandangan baru tersebut. Yang lebih ironis lagi hegemoni kemapanan tersebut senantiasa dipaksakan kepada masyarakat untuk diikuti dan ditaati, sehingga yang kemudian muncul adalah klaim kafir;sesat, karena berbeda dengan pandangan pakem tersebut.
Sejak zaman nabi setidaknya tidak akan diketemukan sebuah lembaga yang mengurusi masalah keagamaan bahkan sampai ke ruang privat manusia, hal ini dapat dilihat dari pemegang otoritas penuh pada masa tersebut adalah Nabi secara langsung namun tentunya nabi meminta pendapat dan pandangan kepada para sahabat.
Dalam konteks Indonesia tentu penghakiman “keluarnya fatwa-fatwa” sangat familiar bagi masyarakat, hal ini tentu menurut sebagian kalangan berlandaskan kepada nilai-nilai agama yang mereka anggap telah mengalami perubahan dalam penafsiran oleh sebagian kelompok yang lain, sebut saja dalam hal ini adalah pandangan aliran Ahmadiyah yang dianggap berbeda bahkan dianggap menyimpang oleh mainstream.
Pandangan-pandangan yang kemudian dilontarkan adalah bahwa pandangan Ahmadiyah diangggap keluar dari Ushuliyah (Pokok, penj) pandangan keagamaan Islam. Permasalahan ushul (Pokok) dan furu’ (cabang) tentunya menjadi salah satu penyebab permasalahan tersendiri, karena mana yang disebut ushul dan Furu’ dewasa kini menjadi sangat kabur, tergantung madzhab mana yang menguasai arena pemikiran politis teologis saat itu.
Satu hal yang mungkin bisa menjadi batas pembahasan furu dan ushul adalah perbedaan pandangan antara kaum Sunni dan Syiah. Lantas apakah Furu dan Ushul dalam pandangan dua teologis besar dunia tersebut semuanya sama? Memang terdapat banyak kesamaan namun tidak jarang ditemukan banyak perbedaan antara keaduanya.
Inilah yang menjadi pendasar mengapa masalah-masalah yang kemudian muncul sering dipolitisir oleh kepentingan-kepentingan sekelompok umat yang tidak ingin kehilangan pangsa pasarnya, karena berpindah pandangan kepada hal yang lain.
Nalar Pembaharuan Indonesia

Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia, terbentang dari mulai Sabang sampai Merauke. Ragam etnik, bahasa, budaya bahkan agama menjadi hal yang tak terhindarkan dari bangsa Indonesia.
Awal-awal kemerdekaan khsususnya pada waktu persiapan kemerdekaan dalam BPUPKI dan PPKI, setidaknya permasalahan-permasalahan perbedaan-perbedaan tersebut sering diperbincangkan bahkan diperdebatkan. Pembicaraan dan perdebatan tersebut akhirnya mengkerucut –tidak bermaksud menafikan perdebatan yang lainya– menjadi perdebatan Ideologis antara Islamis dan nasionalis. Perdebatan tersebut melunak dengan keluarnya piagam Jakarta.
Namun dengan keluarnya piagam Jakarta ternyata tidak menyelesaikan masalah terbukti bahwa ada “ancaman” dari wilayah timur untuk mengundurkan diri dari Negara kesatuan Indonesia jika piagam tersebut disahkan. Dengan semangat patriotiknya Soekarno mencabut piagam Jakarta dan mengembalikan konstitusi negara kepada UUD 1945, meskipun tentunya sikap Soekarno tersebut banyak menuai kontroversi.
Kesadaran akan kemajemukan bangsa setidaknya menjadi bahan yang sangat berharga bagi para founding Father kita. Keragaman tersebut dirangkai dalam sebuah Negara kesatuan dengan Falsafah Pancasila dan landskape “Bhineka Tunggal Ika”. Namun Indahnya keversamaan tersebut dinodai oleh oknum-oknum yang ingin mendirikan Negara Indonesia kepada satu madzhab pemikiran dan agama.
Memang keinginan tersebut tidak ada yang melarang, namun apakah masyarakat memang telah menyepakati keinginan tersebut atau apakah memang keinginan tersebut terbersitdari segelintir orang? Perlu penelitian yang komprehensif untuk menjawab pemasalahan tersebut.
Namun dari beberapa pemilihan Umum sebagai sebuah standar demokratisasi masyarakat, setidaknya keinginan bahkan kesadaran untuk mendirikan Negara dengan satu pandangan keagamaan pupus, kerena dari beberapa pemilu demokratis pasca reformasi, partai-partai yang bercorak dan memperjuangkan jargon keagamaan ternyata tidak berubah bahkan kecenderungan berkurang.
Bahkan dari beberapa partai telah merubah oientasi partainya kearah-arah moderat dan menlakukan kompromi terhadap beberapa segi. Mungkin inilah fenomena kekalahan struktural pandangan mainstream, namun kekalahan struktural tersebut tidak diimbangi dengan kekuatan kultural yang semakin mengkhawatirkan dan memberangus kebebasan masyarakat.
Dimensi kultural itulah yang kini sedang diperjuangkan oleh masyarakat Indonesia yang mendambakan perdamaian di atas perbedaan. Bagaimanapun kekerasan, diskriminasi dan intoleransi bukan budaya yang diusung oleh bangsa Indonesia sejak awal mula berdirinya bangsa ini. Apakah Negara ini akan kita relakan dikuasai oleh preman-preman yang mengatasnamakan salah satu pandangan?

Pembaharuan "HIKAYAT GALILEO"

Hikayat
Galileo Galilei

Galileo Galilei lahir di kota Pisa, Tuscany pada tanggal 15 Februari 1564. Putra pertama dari Vincenzo Galilei seorang matematikawan dan musisi asal Florence dan Giulia Ammannati ini, sejak kecil sudah mendapat pendidikan memadai. Pernah belajar di Universitas Pisa jurusan Kedokteran, akan tetapi terhenti sebab masalah keuangan keluarga. Ia mempelajari Matematika dari seorang guru di istana Tuscana bernama Ostillo Ricci. Ia kembali ke Florence dan memulai karirnya sebagai pengarang. Karyanya mengenai neraca hidrostatik (1586) dan pusat gaya berat pada benda (1589) membuatnya menjadi begitu terkenal di seluruh Italia. Lalu, ia beruntung dapat mengajar matematika di Universitas Pisa, dan setelah itu Galileo pindah ke Universitas Padua sebagai Guru Besar untuk mengajar geometri, mekanika dan astronomi hingga tahun 1610. Berikutnya, ia terus mendalami sains dan membuat berbagai penemuan.
Di bidang mekanika, Galileo menganulir pendapat Aristoteles yang mengajarkan, benda yang lebih berat jatuh lebih cepat ketimbang benda yang lebih enteng, dan bergenerasi-generasi kaum cerdik pandai menelan pendapat filosof Yunani yang besar pengaruh ini. Tetapi, Galileo memutuskan mencoba dulu benar-tidaknya, dan lewat serentetan eksperimen dia berkesimpulan bahwa Aristoteles keliru. Yang benar adalah, baik benda berat maupun enteng jatuh pada kecepatan yang sama kecuali sampai batas mereka berkurang kecepatannya akibat pergeseran udara.
Berikutnya, penemuannya mengenai hukum kelembaman. Sebelumnya, orang percaya bahwa benda bergerak dengan sendirinya cenderung menjadi makin pelan dan sepenuhnya berhenti kalau saja tidak ada tenaga yang menambah kekuatan agar terus bergerak. Tetapi percobaan-percobaan Galileo membuktikan bahwa anggapan itu keliru. Bilamana kekuatan melambat seperti misalnya pergeseran, dapat dihilangkan, benda bergerak cenderung tetap bergerak tanpa batas. Ini merupakan prinsip penting yang telah berulang kali ditegaskan oleh Newton dan digabungkan dengan sistemnya sendiri sebagai hukum gerak pertama salah satu prinsip vital dalam ilmu pengetahuan.
Penemuan Galileo di bidang astronomi menempatkan dirinya di catatan sejarah korban penindasan otoritas agama atas kebebasan berpikir. Teori perbintangan di awal tahun 1600-an berada dalam situasi yang tak menentu. Terjadi selisih pendapat antara penganut teori Copernicus yang matahari-sentris dan penganut teori yang lebih lama, yang bumi-sentris. Sekitar tahun 1609 Galileo menyatakan kepercayaannya bahwa Copernicus berada di pihak yang benar, tetapi waktu itu dia tidak tahu cara membuktikannya. Pada tahun 1608 Hans Lippershey, seorang ahli optika Belanda, menemukan teleskop, namun tidak bersedia menerima patennya. Sehingga, kemudian Galileo pun berusaha membuat teleskop sederhana dan ia berhasil menciptakan teleskop dengan kemampuan pembesaran 33 kali. Dengan teleskopnya ini ia berhasil menemukan cincin Saturnus, empat buah bulan Yupiter, gunung-gunung dan kawah di bulan sehingga ia menjadi begitu terkenal di seluruh dunia hingga sekarang. Ia juga menemukan kenyataan bahwa galaksi sebenarnya adalah gugusan bintang yang jumlahnya berjuta-juta.
Sementara penemuan teleskop dan serentetan penemuan ini melempar Galileo ke atas tangga kemasyhuran, dukungannya terhadap teori Copernicus menyebabkan dia berhadapan dengan kalangan gereja yang menentangnya habis-habisan. Pertentangan gereja ini mencapai puncaknya di tahun 1616: manakala dia diperintahkan menahan diri dari menyebarkan hipotesa Copernicus. Galileo merasa tergencet dengan pembatasan ini selama bertahun-tahun. Baru sesudah Paus meninggal tahun 1623, dia digantikan oleh orang yang mengagumi Galileo. Tahun berikutnya, Paus baru ini --Urban VIII-- memberi pertanda walau samar-samar bahwa larangan buat Galileo tidak lagi dipaksakan.
Enam tahun berikutnya Galileo menghabiskan waktu menyusun karya ilmiahnya yang penting Dialog Tentang Dua Sistem Penting Dunia. Buku ini merupakan peragaan hebat hal-hal yang menyangkut dukungan terhadap teori Copernicus dan buku ini diterbitkan tahun 1632 dengan ijin sensor khusus dari gereja. Meskipun begitu, penguasa-penguasa gereja menanggapi dengan sikap berang tatkala buku terbit dan Galileo langsung diseret ke muka Pengadilan Agama di Roma dengan tuduhan melanggar larangan tahun 1616.
Banyak pembesar-pembesar gereja tidak senang dengan keputusan menghukum seorang sarjana kenamaan. Bahkan dibawah hukum gereja saat itu, kasus Galileo dipertanyakan dan dia cuma dijatuhi hukuman enteng. Galileo tidak dijebloskan ke dalam bui tetapi sekedar kena tahanan rumah di rumahnya sendiri yang cukup enak di sebuah villa di Arcetri. Hukuman lain terhadapnya suatu permintaan agar dia secara terbuka mencabut kembali pendapatnya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Ilmuwan berumur 69 tahun ini melaksanakannya di depan pengadilan terbuka. Di kota Arcetri dia meneruskan kerja tulisnya di bidang mekanika. Galileo meninggal tahun 1642.
Bagaimanapun, hikayat Galileo Galilei menunjukkan pada kita bahwa doktrin agama tidak selalu bisa bertahan manakala dikenai objektifikasi yang benar atasnya. Kepercayaan tentang geosentris, yang dihasilkan Aristoteles dan karenanya telah melalui proses ilmiah, ketika telah dianut sebagai sebuah keyakinan dan doktrin agama tidak mampu bertahan menghadapi gelombang saintifikasi ilmiah yang digulirkan Galileo. Maka, otoritas agama kurang tepat bila menghalang-halangi kebebasan berpikir yang mungkin akan membawa kemajuan bagi bumi kita ini. Wallahu'alam bis showab. (BRH)

Pembaharuan

Citra Tuhan Pembaharu
Oleh Tohirin el-Ashry
Peneliti pada Al Ma’un Institute Jakarta, dan Aktivis JarIK jakarta

Berpikirlah tentang ciptaan Allah, jangan berpikir tentang Dzat Allah (tafakkarû fî khalqillâh, walâ tafakkarû fî dzâtillah). Bagi alumnus pesantren, kaidah “warning” ini tentu tak asing lagi. Sejatinya kaidah ini diberlakukan dalam konteks pembahasan sifat-sifat Allah (tauhid asmâ wa sifât) berkenaan dengan sifat Allah: Mukhâlafatuhu lilhawâditsi (Allah Dzat yang berbeda dengan makhluk).
Sifat ini mengandung maksud bahwa Tuhan Allah bersifat ekstra realitas. Dia adalah satu-satunya Dzat yang tiada serupa bagi-Nya (laisa kamitslihî syai`un). Berpikir dan mengandaikan Allah serupa apapun (tajassum) adalah pantangan besar bagi para muwahhidûn (orang-orang yang mengesakan Allah) yang dapat membuat pelakunya terjerembab ke dalam lubang kemusyrikan.
Namun pada gilirannya, kaidah ini disalahpahami sebagai kaidah untuk mengukuhkan dan membakukan salah satu definisi dan satu corak “mazhab bertuhan”. Sebab, pada kenyataannya Tuhan adalah definisi tentang Tuhan itu sendiri yang dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perubahan. Penting kiranya untuk ditambahkan bahwa perubahan definisi ini mensyaratkan batas-batas tertentu di dalamnya. Namun dalam sebuah ruang dialog, tetap saja sulit untuk menentukan mana sebenarnya batasan yang sesungguhnya.
Sejarah mengatakan kepada kita bahwa konsep tentang Tuhan memasuki diskusi teologi yang cukup rumit dengan berbagai farian alirannya. Citra Tuhan memasuki ruang diskusi yang amat masif. Tak bisa dihindari, untuk mengukuhkan sebuah “konsep Tuhan” seseorang harus berargumentasi tidak hanya mengandalkan dalil normatif. Tapi juga argumentasi rasional atas apa yang disebut dengan ilmu kalam.
Bahkan Tuhan memasuki ranah dikusi yang lebih luas lagi sampai pada konsep Tuhan menurut orang-orang yang tidak bertuhan atau Tuhannya orang-orang yang tidak bertuhan. Istilah terakhir kedengaran agak aneh. Namun tidak juga bisa disalahkan sepenuhnya. Sebab, orang-orang yang tidak bertuhan pun ternyata juga mempunyai konsep Tuhannya sendiri-sendiri.
Persepsi citra Tuhan telah memakan diskusi panjang antar berbagai aliran teologi klasik. Sebut saja misalnya Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Sebelum munculnya aliran-aliran ini, citra Tuhan sebenarnya telah ditafsir dengan minimal dua model pendekatan. Pertama, aliran Qadariyah yang mempersepsi Tuhan sebagai Dzat yang demokratis. Kedua, Jabariyah yang mempersepsi Tuhan sebagai sosok yang absolut dan adikuasa.
Kaum sufi beda lagi dalam menghayati citra Tuhan. Al Halaj dan Syekh Siti Jenar termasuk diantara sekian sufi yang cukup menonjol dalam memaknai eksistensi Tuhan. Mereka mendekati Tuhan dengan konsep yang sering disebut dengan penyatuan diri dengan Tuhan (wihdatul wujûd). Kemudian dalam dikursus sufistik juga muncul istilah tajally dan hulûl.
Tajally dan hulûl adalah proses saling dekat-mendekati antara Tuhan dan hamba-Nya. Bedanya, tajally adalah pihak Tuhan yang banyak menghampiri hamba-Nya. Sedangkan hulûl adalah pihak hamba yang banyak menghampiri Tuhannya. Tapi ending-nya sama, yaitu proses penyatuan diri antara hamba dan Tuhannya. Inilah mungkin terjemahan dari innâ lillâhi wa inna ilaihi râji’ûn (dari Allah kembali kepada Allah) dalam perspektif sufistik.
Konsentrasi berpikir tentang hakikat Tuhan ini sampai pada tingkat menggerus penghayatan terhadap manusia (teosentris). Termasuk apa yang dihayati oleh kebanyakan masyarakat kita. Kebenyakan dari mereka masih mempersepsi Tuhan tak jauh-jauh dari dua hal. Pertama, Tuhan adalah penentu segalanya dan penentu kebijakan nasib satu-satunya. Kedua, Tuhan adalah tempat berkeluh kesah dan tempat meratapi segala duka.
Kedua, persepsi ini membuat orang yang bersangkutan kurang perencanaan dalam segala hal dan kehilangan fitalitasnya untuk mengubah keadaan. Dia menjadi begitu lemah dan tak berdaya sebagai pengejawantahan perilaku takwa tingkat tinggi di hadapan Sang Pencipta. Keadaan mengenaskan ini masih ditambah lagi dengan berbasah-basah tangis untuk meratapi Tuhan di majelis-majelis dzikir. Di situlah mereka merasa menemukan puncak ekstase religius tertinggi.
Pada titik inilah kemudian orang-orang yang mengaku tidak bertuhan menciptakan teori Tuhannya. Aliran materialisme macam Karl Marx menuduh Tuhan sebagai biangkerok ketidakberdayaan manusia. Bukan Tuhan yang menciptakan manusia katanya. Tapi justru manusialah yang menciptakan Tuhan. Tuhan ciptaan itu menurutnya justru membuat manusia tidak manusiawi.
Menurutnya Erich Fromm, seorang psikolog yang juga atheis, menyimpulkan bahwa hakikat bertuhan adalah jika manusia benar-benar manusiawi. Menjadi manusia yang berkeadilan, pro kebenaran, dan santun terhadap sesama. Kehausan akan penyatuan diri dengan Tuhan menurutnya hanya refleksi kejiwaan untuk mengatasi kesepian diri yang ia sebut dengan disunited existensi. Mendamba Tuhan hanyalah salah satu pemecahan masalah untuk menemukan jawaban atas problem eksistensi manusia.
Senada dengan Fromm, Nietzche dalam bukunya Beyond God and Evil malah mendeklarasikan kematian Tuhan. Menurutnya Tuhan adalah persepsi menusia tentang sesuatu yang agung pada dirinya. Sejatinya Tuhan yang serba maha itu tak lain adalah bagian teristimewa dari dirinya sendiri. Para pemikir Barat postmodernisme juga tak jauh-jauh dari para pendahulu mereka. Mereka mendefinisikan Tuhan sebagai refleksi pemikiran manusia yang luar biasa (supernatural human mind).
Demikianlah, dari waktu ke waktu, penghayatan atas Tuhan mengalami evolusi. Kendati demikian, orang-orang beriman tentu tak akan bisa menerima konsep Tuhan para atheis ini. Hanya saja kita juga tak bisa menolak sepenuhnya apa yang mereka kemukakan. Dalam konteks ini, kita dapat menempatkan konsep Tuhannya orang anti Tuhan ini dalam kerangka kritik.
Tak dapat dipungkiri. Tuhan kita sekarang memang lebih identik dengan juragan pahala dan juru hukum terhadap hambanya. Citra Tuhan telah direduksi ke dalam wilayah metafisis yang serba ghaib dan jauh dari realitas. Bertemu dengan Tuhan selalu identik dengan isak tangis atas tumpukan dosa dan ketidakberdayaan.
Persepsi tentang Tuhan semacam ini jelas berpengaruh pada realitas sosiologis. Dus, realitas sosiologis sejatinya merupakan terjemahan dari konsep-konsep pikiran manusia, termasuk diantaranya konsep Tuhan. Melihat Indonesia yang notabene sebagai bangsa yang religius, tentu tak bisa meninggalkan untuk melihat mindset masyarakatnya termasuk dalam hal konsep Tuhan ini.
Sekarang yang dibutuhakan adalah konsep Tuhan baru. Konsep Tuhan pembaharu. Dia adalah Tuhan yang menjadi fitalitas hidup. Tuhan yang menjadi rekan berkarya. Menghadap Tuhan adalah tukar pikiran bagaimana memajukan peradaban. Bukan semata-mata menangis dan menyetorkan daftar dosa.
Menghadaplah kepada Tuhan dengan senyum mengembang dan segudang ide untuk didiskusikan dengan-Nya. Biarlah konsep Tuhan lama yang hanya mengingatkan manusia atas dosa-dosa dan pedihnya siksa kubur hanya dipakai untuk orang-orang tua yang umurnya sudah di atas rata-rata dan sudah mendekati liang lahat. Kini saatnya kita berdiri tegak dengan Tuhan kita Yang Maha Progresif dan Maha Pembaharu.

Selasa, 11 November 2008

Pembaharuan

MEMBACA PEMBAHARUAN (TAJDID) HUKUM ISLAM BERSAMA MUHAMMAD SYAHRUR

Oleh : Farid Ridwanullah*

Memahami Kembali Wacana Pembaharuan

Pembaharuan atau tajdid muncul dengan bebagai predikat seperti reformisme, modernisme, revivalisme, fundamentalisme bahkan liberalsime. Tajdid merupakan salah satu bentuk implementasi ajaran Islam setelah kepergian nabi. Oleh karena itu, tajdid merupakan tema yang sebenarnya sudah lama ada dalam dimensi kehidupan kaum muslimin di dunia Islam. Dalam kenyataannya gerakan tajdid muncul dalam bentuk yang beragam dan masing-masing mencerminkan jawaban terhadap persoalan yang mereka hadapi dalam waktu dan tempat tertentu.

Ide tajdid sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari ciri dasar ajaran Islam. Ciri ini diformulasikan dalam bentuk keyakinan bahwa pertama, Islam adalah agama yang universal, misinya adalah rahmat bagi semua penghuni alam (al anbiyâ (21) : 107). Universalitas mencakup semua aspek kehidupan manusia meliputi hubungan antara manusia dengan tuhan, manusia, dan lingkungan. Kedua, adanya keyakinan terhadap Islam sebagai agama terakhir yang diturunkan Allah yang memuat prinsip moral dan ajaran agama untuk semua umat manusia. Dasarnya adalah kehadiran Muhammad sebagai nabi penutup.

Meskipun terdapat perbedaan pandangan mengenai finalitas doktrin kenabian setelah Muhammad yakni antara Sunni dan Syiah, keduanya berbeda dalam dalam memandang ada atau tidak adanya (Holly Man) setelah kematian Muhammad. tetapi hendak dipahami bahwa berhentinya fungsi kenabian tidak berarti terputusnya petunjuk Tuhan kepada umat Islam.

Gerakan tajdid memiliki dua wajah. Pertama, mengembalikan semua bentuk kehidupan beragama pada contoh zaman awal Islam (pristine). Kedua, landasan universalitas ajaran Islam, maka gerakan tajdid kemudian dimaksudkan sebagai upaya untuk mengimplementasikan ajaran Islam sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan. Implementasi ini terutama pada ajaran yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan dan masalah-masalah kemanusiaan.

Wacana tajdid kemudian dihubungkan dengan dasar universalitas Islam yang tidak mengenal batasan geografis maupun etnis yang mencakup semua sunnatullah yang ada di alam ini. Namun sikap universalitas tersebut sering berujung terhadap ambivalensi pandangan terhadap barat, yakni disatu sisi menerima dilain hal menolaknya. Di sini Fazlur Rahman sependapat bahwa kaum muslimin seharusnya tidak menerima sikap yang menutup diri terhadap ide-ide barat, tetapi mengetahui bahwa Islam tidak disamakan dengan barat.

Muhammad Syahrur Daib sebagai salah satu pemikir kontemporer, tertarik memikirkan kelemahan dunia Islam dan pemikiran Islam kontemporer dewasa ini. Menurutnya, pemikiran Islam kontemporer memiliki problem-problem berikut:

Pertama, Tidak adanya metode penelitian ilmiah yang obyektif mengenai kajian Nash (ayat-ayat al-Kitab) yang diwahyukan kepada Muhammad. Kedua, Kajian keislaman dewasa kini sering bertolak dari perspektif lama (pakem) yang telah ada. Ketiga, Tidak dimanfaatkannya filsafat karena ada kecurigaan terhadap Barat. Keempat, Tidak adanya epistemologi Islam yang valid. Dan kelima, Produk fiqh yang ada sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas.

PEMBAHARUAN DALAM PANDANGAN SYAHRUR

Dalam membaca Sahrur, setidaknya harus mengurai pandangan Islam tentang al qur’an dan as sunnah. Dengan mengeksplorasi landasan ontologis filosofisnya. Syahrur memandang bahwa Islam yang dibawa oleh nabi muhammad adalah agama wahyu. at tanzil al hakim (al qur’an) sebagai kitab suci seharusnya tidak terikat ruang dan waktu. Pandangan universalisme ini sebenarnya tidak berbeda dengan pandangan konvensional, yang membedakan adalah mengenai definisi universalisme hukum (al qur’an) itu sendiri.

Universalisme hukum (Al qur’an) tidak berarti bahwa seseorang harus menerapkan hukum-hukum yang tertera dalam (al qur’an) secara apa adanya disemua tempat dan waktu, melainkan bahwa kesesuaian at tanzil al hakim (al qur’an) itu hanya mungkin jika aturan hukum at tanzil al hakim (al qur’an) merupakan hududiyyah hanifiyyah (terdiri dari hukum-hukum yang fleksibel dan elastis) yang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan waktu dan tempat. Hal ini berarti bahwa hukum at tanzil al hakim (al qur’an) adalah ladang untuk melakukan ijtihad dan disesuaikan dengan kondisi-kondisi objektif yang terdapat dalam komunitas manusia.

Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum syahrur menjelaskan landasan ontologis mengapa penafsiran kembali (hermeneutik) ayat-ayat hukum al qur’an perlu dilakukan. Ia memaparkan sebuah diskursus filsafat tentang hubungan antara “al kaynunah” (kondisi berada; das sein; being), “as sayrurah” (kondisi berproses; der prozes; the process), dan ash shayrurah (kondisi menjadi; das werden; becoming). Dia meyakini bahwa relasi antara ketiga kondisi tersebut merupakan suatu keniscayaan alami, dalam arti bahwa tidak ada satu kondisipun yang tidak terikat dengan kondisi-kondisi lain.

Setelah itu syahrur mengaitkan teori dialektika tersebut dengan pemahamannya terhadap at tanzil al hakim (al qur’an). Pertama, dia mengemukakan keyakinan bahwa at tanzil al hakim (al qur’an), baik teks maupun kandungannya adalah wahyu Allah. Karena itu, ia bersifat quddus dalam arti bahwa ia memiliki karakter kehidupan, yakni bahwa wahyu Allah itu eksis pada dirinya, dan pemahaman terhadapnya selalu berkembang dan dinamis, dimana as sayrurah dan ash ashayrurah dalam hal berkesinambungan. Dari sini seseorang dalam mengintrepretasikan at tanzil al hakim (al qur’an) memandang bahwa at tanzil al hakim (al qur’an) diwahyukan kepada generasinya; “seakan-akan Rasululah wafat dan menyampaikan kitab ini kepada kita”. Beranjak dari sini dapat kita pahami bahwa penafsiran terhadap at tanzil al hakim (al qur’an) itu bersifat relatif.

Berangkat dari bangunan berfikir seperti itu, syahrur memandang bahwa pemahaman dan aplikasi nabi Muhammad terhadap hukum at tanzil al hakim (al qur’an) yang biasa disebut dengan as sunnah an nabawiyyah, bukanlah sebagai “wahyu kedua”, melainkan sebagai “pemahaman awal” terhadap at tanzil al hakim (al qur’an), dalam arti ia bersifat terbatas dan relatif. Pandangan seperti itu membawa syahrur pada satu pendapat bahwa nabi Muhammad adalah mujtahid pertama yang telah membumikan/merelatifkan hukum-hukum ilahi yang absolut melalui sunnahnya yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi saat itu. Jelaslah bagi kita bahwa syahrur menekankan realtifitas dalam menafsirkan at tanzil al hakim (al qur’an), dalam arti bahwa setiap generasi mempunyai kebebasan untuk menafsirkan sesuai dengan kebutuhan zaman dan tempat serta sesuai dengan struktur ilmu pengetahuan yang tersedia.

Setelah mengeksplorasi al qur’an dan hadis sebagai dasar ontologis, Syahrur membagi metodenya menjadi dua; pertama, analisis semantik linguistik dan kedua, penerapan ilmu-ilmu eksakta modern seperti matematika analitik, teknik analitik dan teori himpunan.

Metode pertama, syahrur menerapkan teori linguistik yang pernah dilakukan oleh Al Jurjani dalam hal sinonimita (taraduf) dan komposisi (nazm). Dalam menganalisis makna kata-kata dalam Al Qur’an syahrur tampaknya menerapkan analisa “paradigma-sintagmatik”. Analisa paradigmatik adalah sebuah analisa bahasa yang digunakan untuk memahami makna kata dengan cara membandingkannya dengan kata-kata lain yang memiliki kemiripan atau justru memiliki makna yang bertentangan. Teori ketiadaan sinonimitas ini diaplikasikan secara konsisten oleh Syahrur dalam semua karya-karyanya.

Metode lain yang diterapkan oleh Syahrur untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum disebut dengan “metafora saintifik” yang diadopsi dari ilmu-ilmu eksakta modern. Dia juga memperhatikan perkembangan ilmu-ilmu sosial dalam rangka memperkuat penafsirannya. Sebelumnya, ia mengemukakan ketidak puasannya terhadap penafsiran konvesional terhadap ayat-ayat tentang hukum khususnya wasiat dan harta warisan, karena dalam penafsiran konvensional menurutnya terdapat problem-problem epitemologis dan sosial politik. Problem epistemologis yang dimaksud adalah bahwa penafsiran konvensional terhadap ayat-ayat tentang waris masih terpaku pada teori matematika klasik yang terfokus kepada proses penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian (al ‘amaliyyat al hisbiyyah al ‘arba’a). Sedangkan problem sosial politik adalah bahwa tradisi patriarkhis dan politik sangat berpengaruh pada penafsiran konvensional. Dengan demikian, wanita hampir selalu merupakan pihak yang diperlakukan secara kurang adil. Selain itu hukum waris konvensional menekankan perhatiannya kepada bagaian-bagian individu dan bukan kelompok. Wallahu a’lam.

* Aktivis JarIK Jakarta, Kuliah di Univ. Paramadina Jakarta