Rabu, 12 November 2008

Pembaharuan

Citra Tuhan Pembaharu
Oleh Tohirin el-Ashry
Peneliti pada Al Ma’un Institute Jakarta, dan Aktivis JarIK jakarta

Berpikirlah tentang ciptaan Allah, jangan berpikir tentang Dzat Allah (tafakkarû fî khalqillâh, walâ tafakkarû fî dzâtillah). Bagi alumnus pesantren, kaidah “warning” ini tentu tak asing lagi. Sejatinya kaidah ini diberlakukan dalam konteks pembahasan sifat-sifat Allah (tauhid asmâ wa sifât) berkenaan dengan sifat Allah: Mukhâlafatuhu lilhawâditsi (Allah Dzat yang berbeda dengan makhluk).
Sifat ini mengandung maksud bahwa Tuhan Allah bersifat ekstra realitas. Dia adalah satu-satunya Dzat yang tiada serupa bagi-Nya (laisa kamitslihî syai`un). Berpikir dan mengandaikan Allah serupa apapun (tajassum) adalah pantangan besar bagi para muwahhidûn (orang-orang yang mengesakan Allah) yang dapat membuat pelakunya terjerembab ke dalam lubang kemusyrikan.
Namun pada gilirannya, kaidah ini disalahpahami sebagai kaidah untuk mengukuhkan dan membakukan salah satu definisi dan satu corak “mazhab bertuhan”. Sebab, pada kenyataannya Tuhan adalah definisi tentang Tuhan itu sendiri yang dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perubahan. Penting kiranya untuk ditambahkan bahwa perubahan definisi ini mensyaratkan batas-batas tertentu di dalamnya. Namun dalam sebuah ruang dialog, tetap saja sulit untuk menentukan mana sebenarnya batasan yang sesungguhnya.
Sejarah mengatakan kepada kita bahwa konsep tentang Tuhan memasuki diskusi teologi yang cukup rumit dengan berbagai farian alirannya. Citra Tuhan memasuki ruang diskusi yang amat masif. Tak bisa dihindari, untuk mengukuhkan sebuah “konsep Tuhan” seseorang harus berargumentasi tidak hanya mengandalkan dalil normatif. Tapi juga argumentasi rasional atas apa yang disebut dengan ilmu kalam.
Bahkan Tuhan memasuki ranah dikusi yang lebih luas lagi sampai pada konsep Tuhan menurut orang-orang yang tidak bertuhan atau Tuhannya orang-orang yang tidak bertuhan. Istilah terakhir kedengaran agak aneh. Namun tidak juga bisa disalahkan sepenuhnya. Sebab, orang-orang yang tidak bertuhan pun ternyata juga mempunyai konsep Tuhannya sendiri-sendiri.
Persepsi citra Tuhan telah memakan diskusi panjang antar berbagai aliran teologi klasik. Sebut saja misalnya Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Sebelum munculnya aliran-aliran ini, citra Tuhan sebenarnya telah ditafsir dengan minimal dua model pendekatan. Pertama, aliran Qadariyah yang mempersepsi Tuhan sebagai Dzat yang demokratis. Kedua, Jabariyah yang mempersepsi Tuhan sebagai sosok yang absolut dan adikuasa.
Kaum sufi beda lagi dalam menghayati citra Tuhan. Al Halaj dan Syekh Siti Jenar termasuk diantara sekian sufi yang cukup menonjol dalam memaknai eksistensi Tuhan. Mereka mendekati Tuhan dengan konsep yang sering disebut dengan penyatuan diri dengan Tuhan (wihdatul wujûd). Kemudian dalam dikursus sufistik juga muncul istilah tajally dan hulûl.
Tajally dan hulûl adalah proses saling dekat-mendekati antara Tuhan dan hamba-Nya. Bedanya, tajally adalah pihak Tuhan yang banyak menghampiri hamba-Nya. Sedangkan hulûl adalah pihak hamba yang banyak menghampiri Tuhannya. Tapi ending-nya sama, yaitu proses penyatuan diri antara hamba dan Tuhannya. Inilah mungkin terjemahan dari innâ lillâhi wa inna ilaihi râji’ûn (dari Allah kembali kepada Allah) dalam perspektif sufistik.
Konsentrasi berpikir tentang hakikat Tuhan ini sampai pada tingkat menggerus penghayatan terhadap manusia (teosentris). Termasuk apa yang dihayati oleh kebanyakan masyarakat kita. Kebenyakan dari mereka masih mempersepsi Tuhan tak jauh-jauh dari dua hal. Pertama, Tuhan adalah penentu segalanya dan penentu kebijakan nasib satu-satunya. Kedua, Tuhan adalah tempat berkeluh kesah dan tempat meratapi segala duka.
Kedua, persepsi ini membuat orang yang bersangkutan kurang perencanaan dalam segala hal dan kehilangan fitalitasnya untuk mengubah keadaan. Dia menjadi begitu lemah dan tak berdaya sebagai pengejawantahan perilaku takwa tingkat tinggi di hadapan Sang Pencipta. Keadaan mengenaskan ini masih ditambah lagi dengan berbasah-basah tangis untuk meratapi Tuhan di majelis-majelis dzikir. Di situlah mereka merasa menemukan puncak ekstase religius tertinggi.
Pada titik inilah kemudian orang-orang yang mengaku tidak bertuhan menciptakan teori Tuhannya. Aliran materialisme macam Karl Marx menuduh Tuhan sebagai biangkerok ketidakberdayaan manusia. Bukan Tuhan yang menciptakan manusia katanya. Tapi justru manusialah yang menciptakan Tuhan. Tuhan ciptaan itu menurutnya justru membuat manusia tidak manusiawi.
Menurutnya Erich Fromm, seorang psikolog yang juga atheis, menyimpulkan bahwa hakikat bertuhan adalah jika manusia benar-benar manusiawi. Menjadi manusia yang berkeadilan, pro kebenaran, dan santun terhadap sesama. Kehausan akan penyatuan diri dengan Tuhan menurutnya hanya refleksi kejiwaan untuk mengatasi kesepian diri yang ia sebut dengan disunited existensi. Mendamba Tuhan hanyalah salah satu pemecahan masalah untuk menemukan jawaban atas problem eksistensi manusia.
Senada dengan Fromm, Nietzche dalam bukunya Beyond God and Evil malah mendeklarasikan kematian Tuhan. Menurutnya Tuhan adalah persepsi menusia tentang sesuatu yang agung pada dirinya. Sejatinya Tuhan yang serba maha itu tak lain adalah bagian teristimewa dari dirinya sendiri. Para pemikir Barat postmodernisme juga tak jauh-jauh dari para pendahulu mereka. Mereka mendefinisikan Tuhan sebagai refleksi pemikiran manusia yang luar biasa (supernatural human mind).
Demikianlah, dari waktu ke waktu, penghayatan atas Tuhan mengalami evolusi. Kendati demikian, orang-orang beriman tentu tak akan bisa menerima konsep Tuhan para atheis ini. Hanya saja kita juga tak bisa menolak sepenuhnya apa yang mereka kemukakan. Dalam konteks ini, kita dapat menempatkan konsep Tuhannya orang anti Tuhan ini dalam kerangka kritik.
Tak dapat dipungkiri. Tuhan kita sekarang memang lebih identik dengan juragan pahala dan juru hukum terhadap hambanya. Citra Tuhan telah direduksi ke dalam wilayah metafisis yang serba ghaib dan jauh dari realitas. Bertemu dengan Tuhan selalu identik dengan isak tangis atas tumpukan dosa dan ketidakberdayaan.
Persepsi tentang Tuhan semacam ini jelas berpengaruh pada realitas sosiologis. Dus, realitas sosiologis sejatinya merupakan terjemahan dari konsep-konsep pikiran manusia, termasuk diantaranya konsep Tuhan. Melihat Indonesia yang notabene sebagai bangsa yang religius, tentu tak bisa meninggalkan untuk melihat mindset masyarakatnya termasuk dalam hal konsep Tuhan ini.
Sekarang yang dibutuhakan adalah konsep Tuhan baru. Konsep Tuhan pembaharu. Dia adalah Tuhan yang menjadi fitalitas hidup. Tuhan yang menjadi rekan berkarya. Menghadap Tuhan adalah tukar pikiran bagaimana memajukan peradaban. Bukan semata-mata menangis dan menyetorkan daftar dosa.
Menghadaplah kepada Tuhan dengan senyum mengembang dan segudang ide untuk didiskusikan dengan-Nya. Biarlah konsep Tuhan lama yang hanya mengingatkan manusia atas dosa-dosa dan pedihnya siksa kubur hanya dipakai untuk orang-orang tua yang umurnya sudah di atas rata-rata dan sudah mendekati liang lahat. Kini saatnya kita berdiri tegak dengan Tuhan kita Yang Maha Progresif dan Maha Pembaharu.

Tidak ada komentar: