Senin, 25 Agustus 2008

DISKUSI UI

MASA DEPAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA[1]

Oleh: Kautsar Azhari Noer

Topik yang tertulis di atas dapat berarti semacam ramalan, perkiraan, atau prediksi tentang "nasib" kebebasan beragama di Indonesia pada masa yang akan datang. Maka kita bisa mengajukan pertanyaan: Bagamiana "nasib" kebebasan beragama di Indonesia pada masa yang akan datang? Apakah kebebasan beragama di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim ini akan terjamin? Atau, sebaliknya, apakah kebebasan beragama di negeri yang kita cintai ini justru akan semakin terkekang? Topik makalah ini dapat pula berarti semacam harapan terjaminnya kebebasan beragama di Indonesia pada masa yang akan datang. Dalam konteks ini, kita dapat mengajukan pertanyaan: Kebebasan beragama yang bagaimana yang dibutuhkan di Indonsia pada masa yang akan datang? Apa yang harus dilakukan untuk memperjuangkan kebebasan beragama yang ideal itu di negeri ini?

Pelanggaran Kebebasan Beragama: Situasi Tahun-tahun Terakhir

Mari kita kembali kepada persoalan pertama, yaitu persoalan ramalan, perkiraan, atau prediksi tentang "nasib" kebebasan beragama di Indonesia pada masa yang akan datang. Untuk menjawab persolan ini kita harus mengetahui situasi kebebasan beragama di Indonesia saat ini. Meskipun periode pasca-Soeharto dipandang sebagai era reformasi yang memberikan kebebasan berekspresi kepada warga negara, situasi kebebasan beragama masih sangat menyedihkan. Silakan baca, misalnya, Majalah Syir'ah, No. 49NI/ Januari 2006, dengan ulasan tentang pluralisme, dan Majalah Tempo, Edisi Kemerdekaan, Edisi 14-20 Agustus 006, dengan Liputan Khusus "Sulitnya Hidup Bersama." Kedua majalah ini mengulas berbagai peristiwa kekerasan dan konflik yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.

Syir'ah, majalah yang membela pluralisme dan kebebasan beragama ini, pada edisi itu dalam rubrik-nya yang diberi nama "Syir`atuna," menampilkan judul tulisan yang menyedihkan bagi pencinta kedamaian, yaitu "Belakang Kelabu, Depan Masih Terjal." Ulasan yang ditulis oleh Saudara Mujtaba Hamdi, Pemimpin Redaksi/Penaggung Jawab Syir'ah, ini menggambarkan berbagai peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok keras atas nama agama terhadap kelompok-kelompok keagamaan minoritas dan individu yang dianggap sesat. Mengawali ulasan itu, Mujtaba Hamdi menulis, "Tahun 2005 berlalu dengan berbagai peristiwa yang menyedihkan bagi gerakan pluralisme di negeri ini. Mereka yang berbeda terus disisihkan. Yang memperjuangkan pentingnya menghargai keragaman terkena teror."[2]

Tempo, majalah mingguan yang juga membela kebebasan ini, pada daftar isinya, dengan judul "Sulitnya Hidup Bersama," menampilkan kalimat-kalimat yang meskipun benada menyakitkan bagi para pencinta kedamaian, masih memberi harapan bagi usaha memelihara kemajemukan dalam kedamaian. Kalimat-kalimat itu berbunyi, "Di usia 61

tahun, kemajemukan Indonesia kini seperti menagih ongkos: betapa susahnya hidup bersama. Intoleransi kian menjadi-jadi dan perbedaan dianggap penyakit yang mesti dienyahkan. Korban pun terus bejatuhan. Tapi, itu bukan akhir segalanya. Di penjuru negeri ini selalu ada yang masih percaya bahwa perbedaan bukan dosa, dan mereka

merawat kemajemukantu dalam damai."[3]

Mujtaba Handi membeberkan peristiwa-peristiwa teror dan kekerasan terhadap gerakan pluralisme, kelompok-kelompok minoritas, dan individu-individu yang dianggap sesat.

Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA), sebuah lembaga yang berggiat membela kemajemukan, kebebasan, dan toleransi beragama yang berkantor di Padang, diancam oleh sekelompok orang yang mengaku dari FTPS, Forum Tokoh Peduli Syariah, Sumatera Barat, untuk menghentikan kegiatan membela pluralisme.

Bererapa gereja di Bandung, Garut, Purwakarta, Indrarnayu, dan Semarang, dipaksa untuk ditutup, dibongkar, dan bahkan ada beberapa orang pemimpmriya ditangkap dengan tuduhan melakukan pemurtadan dan Kristenisasi. Para pelaku penutupan gereja-­gereja itu justru bangga dengan "prestasi" mereka. "Kami telah menutup 23 gereja," kata Komandan Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan (AGAP). Kelompok inilah yang rajin melakukan aksi penutupan gereja-gereja di Jawa Barat. "Masih banyak lagi gereja yang akan kami tutup," ujar Komandan AGAP itu dalam wawancara dengan sebuah media nasional. AGAP merasa yakin dengan tindakan semacam itu. Mereka menyatakan bahwa mereka telah mendapat dukungan 21 organisasi massa Islam.[4]

Selama beberapa tahun terakhir, para anggota Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di beberapa daerah di Indonesia (Bogor, Lombok, Tangerang, Kuningan, Cianjur, dan Tasikmalaya) telah menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang menuduh Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Kekerasan itu seakan-akan didorong dan disahkan oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2005 bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat karena aliran ini mengajarkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi. Ajaran ini bertentangan dengan ajaran yang dianut mayoritas kaum Muslim bahwa Muhammad saw adalah nabi terakhir. Di beberapa tempat para penganut Ahmadiyah diancam, dan beberapa masjid dan rumah mereka dirusak dan dihancurkan.

Beratnya tekanan yang dirasakan oleh anggota Ahmadiyah Lombok menyebabkan banyak di antara mereka ingin mencari suaka ke luar negeri. "Tak ada keinginan kami keluar dari negeri ini, kecuali karena terpaksa," kata Ahmad Hidayatullah, Direktur Kampus Mubarak, Parung, dan salah seorang tokoh Ahmadiyahonesia.[5]

Perampasan kebebasan beragama di negeri ini juga menimpa diri Yusman Roy, pemimpin Pondok Pesantren I`tikaf Ngaji Lelaki di Lawang, Malang, Jawa Timur. Roy dihukum penjara selama dua tahun atas tuduhan melakukan penodaan agama, yaitu praktik shalat dalam dua bahasa: Arab dan Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Wilayah Malang mengeluarkan fatwa bahwa shalat dalam dua bahasa yang dipraktikkan oleh Roy telah menyeleweng dari ajaran Islam.

Korban lain pengekangan kebebasan beragama adalah Komunitas Eden. Lia Eden, pemimpin Komunitas itu, dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas tuduhan melanggar Undang-undang Hukum Pidana pasal 335 tentang penodaan agama. Muhammad Abdul Rachman, orang kepercayaan Lia Eden, juga diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada tanggai 23 Agustus 2006, Muhammad Abdul Rachman, setelah melalui beberapa kali persidangan, tetap dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum selama lima tahun penjara, lebih lama dari hukuman penjara selama dua tahun yang telah &,etap atas Lia Eden.

Gangguan terhadap kebebasan beragama dan berkepercayaan tidak pernah berhenti. 'Sepanjang Januri-November 2007, SETARA Institute mencatat 135 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dari 135 peristiwa yang terjadi, tercatat 185 tindak pelanggaran dalam 12 kategori. Masih menurut SETARA Institute,

pelaku 185 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah negara. Negara telah gagal melindungi dan memenuhi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bahkan negara telah bertindak sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia akibat tindakannya yang melarang aliran keagamaan dan keyakinan dan membiarkan warga/organisasi keagamaan melakukan persekusi massal atas kelompok-kelompok keagamaan dan keyakinan.[6]

Sekedar beberapa contoh dapat disebutkan di sini. Sekelompok orang yang tidak dikenal, misalnya, melakukan penyerangan terhadap rumah Asep Rahmat, pimpinan Jama'ah Dzikir Asmaul Husna al-Jabar, di Desa Karyasari, Banyuresmi, Garut. Mereka merusak dua mobil dan tiga sepeda motor. Peristiwa ini terjadi pada Oktober 2007. Sekitar 100 orang warga Enclek Sebrang, Desa Surya Bahari, Pakuhaji, Tangerang, menyerbu kelompok Pengajian Nurul Yaqin di kampung itu pada Selasa, 6 November 2007. Mereka tidak hanya mengusir para jamaah Pengajian itu, tetapi juga membakar rumah dan merusak kendaraan pemilik rumah.[7] Pada tanggal 10 Oktober 2007, sekitar 100 orang yang sebagian warga kampung Janggol, Desa Pamulihan, Kecamatan Cisurupan, Garut, menghancurkan Masjid Assalam Mirza di Kampung Pangauban, Cisurupan, Garut. Masjid itu adalah milik Ahmadiyah di Kampung itu. Banyak di antara jemaah Ahmadiyah melarikan diri dari desa mereka untuk menghindari aksi massa. Ratusan orang yang mengatasnamakan warga Tana Beru, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba, Sulawesi Selatan, menyerang sebuah rumah yang diyakini sebagai tempat ibadah jemaah Tarekat Naqsyabandivah pada 17 Novemver 2007, pukul 22.30 WITH. Rumah itu hancur dan rata dengan tanah. Beberapa orang terluka, Andi Muhammad Ridwan, pimpinan tarekat ini. Salah satu peristiwa yang menodai citra kebebasan beragama di Indonesia belum lama ini adalah pelarangan Menteri Agama HM Maftuh Basyuni atas Nasr Hamid Abu Zayd untuk menjadi pembicara pada Seminar Internasional di Malang yang digelar pada Selasa, 27 November 2007. Pelarang itu diterima Abu Zayd setelah dirinya tiba di Surabaya pada Ahad, 25 November 2007. Pelarangan itu, menurut sebuah sumber, dilakukan karena tekanan dari pihak yang menamakan diri masyarakat dan organisasi Islam. Kesempatan itu digunakan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk mengundang Abu Zayd sebagai pembicara pada diskusi dan jumpa pers dengan tema "Islam dan Kebebasan Berpikir" di Kantor The WAHID Institute, Jakarta, pada Senin, 26 November 2007.[8]

Para penganut agarna-agama suku dan aliran-aliran kepecayaan di Indonesia masih mengalami nasib yang menyedihkan berkaitan dengan kebebaan beragama. Hak sipil mereka masih terganjal hanya karena mereka menganut agama-agama suku dan aliran­aliran kepercayaan itu. Mereka sulit, bahkan banyak tidak bisa, memperoleh akta pernikahan dan akta kelahiran dari Kantor Catatan Sipil. Mereka baru mendapat kemudahan mengurus akta pernikahan dan akta kelahiran jika mencantumkan kata "Islam," misalnya, dalam kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) meskipun Islam bukan agama yang mereka anut.

Pengekangan kebebasan beragama kelompok-kelompok minoritas di Indonesia menimbulkan beberapa akibat yang membuat mereka mengalami penderitaan dan kesulitan dalam kehidupan keagamaan, sosial, dan ekonomi. Dalam kehidupan keagamaan, kebebasan beragama bagi mereka tidak terjamin. Mereka tidak bisa leluasa melakukan ibadah meski di daerah mereka sendiri. Dalam kehidupan sosial, mereka sering dicaci-maki, dibenci, dan dimusuhi karena dianggap sesat. Perlakuan sosial yang tidak adil ini menimbulkan kesulitan ekonomi bagi mereka karena akses-akses ekonomi tertentu tertutup bagi mereka.

Salah satu akibat buruk dari pembungkaman kebebasan adalah keterpaaksaan bagi orang yang kebebasannya dibungkam untuk berperilaku pura-pura. Tidak sedikit anggota kelompok keagamaan dan kepercayaan minoritas di Indonesia terpaksa beirperilaku pura‑

pura untuk mencari aman dan kelancaran urusan kehidupan sehari-hari. Seorang anggota aliran kepercayaan atau kejawen, yang tidak menganut salah satu agama besar yang diakui secara resmi oleh negara, misalnya, terpaksa mencantumkan kata "Islam" dalam KTP-nya pada kolom agama agar segala urusan kehidupan sehari-harinya, seperti

mencari kerja dan pernikahan, berjalan dengan lancar. Jika dia tidak mencantumkan kata "Islam" dalam KTP-nya, dia akan mendapatkan banyak kesulitan dalam banyak urusan. Saya memperoleh informasi dari seorang teman yang dapat dipercaya bahwa ada seorang penganut suatu aliran kepercayaan, meskipun tidak menganut Islam, terpaksa, mencantumkan kata "Islam" dalam KTP-nya untuk kelancaran urusan hidupnya. Dia menikah dengan hukum syariat Islam melalui legalitas KUA untuk kelancaran urusan pernikahannya. Kalau ia tidak melakukan hal itu, maka ia tidak akan mendapatkan legalitas pemikahan dari negara.

Harapan Yang Masih Hidup

Situasi kebebasan beragama yang menyedihkan di Indonesia selama beberapa tahun terakhir tampaknya tidak memberikan harapan yang menggembirakan bagi masa depan kebebasan beragama di negeri yang tercinta ini. Namun demikian, harapan untuk masa depan kebebasan beragama yang lebih balk tetap hidup. Benar apa yang ditulis dalam Tempo hampir dua tahun lalu, seperti dikutip di atas, bahwa masih banyak orang yang memeliliara. kemajemukan Indonesia. "Di usia 61 tahun, kemajemukan Indonesia kini seperti menagih ongkos: betapa susahnya hidup bersama. Intoleransi kian menjadi-jadi dan perbedaan dianggap penyakit yang mesti dienyahkan. Korban pun terus berjatuhan. Tapi, itu bukan akhir segalanya. Di penjuru negeri ini selalu ada yang masih percaya bahwa perbedaan bukan dosa, dan mereka memilih merawat kemajemukan itu dalam damai." Demikian tertulis dalam majalah mingguan bergengsi ini. Masih banyak kelompok yang menyuarakan pluralisme dan kebebasan beragama seperti: P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), LAKPESDAM (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manus-ia) NU (Nandhatul Ulama), Paramadmia, LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat), MADIA (Masayarakat Dialog Antar Agama), Desantara, ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), IPI (Institut Pluralisme Indonesia), JIL (Jaringan Islam Liberal), ICIP (International Center for Islam and Pluralism), dan The Wahid Intitute.

Keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang pengharaman pluralisme agama ternyata tidak menyurutkan langkah para pembela pluralisme agama di Indonesia. Para pembela pluralisme mengadakan pertemuan-pertemuan untuk menentang fatwa MUI itu. Gus Dur dan sejumlah tokoh agama, bersama Aliansi Masyarakat Madani, mengadakan jumpa pers pada Jumat, 29 Juli 2007 di Kantor Pengurus Besar Nandhatul Ulama, Jakarta, untuk menyatakan sebuah sikap, terhadap fatwa MUI itil. Melalui pertemuan itu, Gus Dur menghimbau masyarakat agar tidak mendengarkan fatwa MUI itu; khususnya tentang Jamaah Alanadiyah Indonesia yang dinyatakan sesat. Para tokoh dari berbagai latar belakang berkumpul lagi di rumali kediaman Gus Dur pada Kamis, 4 Agustus 2005, untuk menyuarakan perlawanan mereka terhadap pengharaman pluralisme. Dan masih banyak pertemuan yang sejenis.

Setelah keluarnya fatwa MUI itu. karya-karya yang mendukung pluralisme justru semakin semakin meningkat jumlahnya. Paling tidak, sebelum akhir tahun 2006, saya mencatat bahwa, di luar artikel-artikel dan esai-esai dalam surat kabar, majalah, dan jurnal, paling sedikit lima karya, baik asli dalam bahasa Indonesia maupun terjemahan, yang mendukung pluralisme, telah terbit. Lima karya itu adalah: Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran menyikapi Perbedaan, oleh Jalaluddin Rakhmat (Jakarta, 2006); Kredo Kebebasan Beragama, oleh Zakiyuddin Baidhawi (Jakarta, 2006); Melampaui Pluralisme: Etika al-Quran tentang Keragaman Agama, oleh Hendar Riyadi (Jakarta, 2006); Doktrin Pluralisme dalam al-Ouran, oleh Gamal al-Banna (Bekasi, 2006); dan Islam, Pluralisme, & Toleransi Keagamaan: Pandangan al-Quran, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, oleh Mohamed Fathi Osman (Jakarta, 2006). Karya ini telah diterbitkan dalam terjemahan Indonesianya pada 2002, yaitu Kesetaraan Kaum Beriman: Akar Pluralisme Demokratis dalam Islam, oleh Abdulaziz Sachedina, dicetak ulang pada 2007. Karya lain yang merupakan sebagai pembelaan terhadap kebebasan dan toleransi beragama adalah karya Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme, yang terbit pada 2008.

Kebijakan baru pemerintan tentang agama Khonghucu memberikan harapan yang menggembirakan bagi para penganut agama Khonghucu. Menteri Dalam Negeri mengeluarkan surat tentang pelayanan admistrasi kepedudukan penganut agama Khonghucu. Melalui surat nomor 470/336/SJ yang bertanggal 24 Februari itu, Menteri Dalam Negeri meminta kepada seluruh Gubemur, Bupati, dan Wali Kota untuk memberikan pelayanan administrasi kependudukan kepada penganut agama Khonghucu dengan menambah keterangan agama Khonghucu pada dokumen adiminstrasi kependudukan yang digunakan selama ini. Surat Menteri Dalam Negeri ini menyusul keluarnya surat Menteri Agama nomor MA/12/ 2006 tanggal 24 Januari perihal penjelasan mengenai status perkawinan menurut agama Khonghucu dan pendidikan agama Khonghucu, yang menegaskan bahwa:

a. Masih berlakunya UU Nomor I./PNPS/1- 965 khususnya dalam penjelasan agama­agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Khonghucu.

b. Selanjutnya berkaitan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawman Pasal 2 ayat-(I) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dalam hal ini Departemen Agama memperlakukan perkawinan para penganut agama Khonghucu yang dipimpin oleh Pendeta Khonghucu adalah sah.

Kita mengharapkan kebijakan pemerintah ini, yang disampaikan melalui surat Menteri Agama dan surat Menteri Dalam Negeri ini, tidak mendapat hambatan dalam pelaksanaannya. Jangan terulang lagi tindakan terpaksa dan pura-pura yang dilakukan oleh saudara-saudara kita para penganut agama Khongcucu untuk mencatumkan kata "Buddha," misalnya, agar mereka memperoleh kemudahan pelayanan administrasi kependudukan dan pengakuan sahnya perkawinan mereka.

Kita mengharapkan negara mempunyai kemauan baik dan mampu melindungi setiap warganya untuk menjalankan agama dan kepercayaannya tanpa gangguan. Negara tidak berhak mengatur aspek pribadi agama dan keperrcayaan yang bersifat individual. Negara bartugas ibarat polisi lalu lintas yang mengantur lalu lintas agama agar kendaraan­kendaraan agama tidak bertabrakan dan mengalami kecelakaan.

Khatimah: Rekomendasi

Pada akhir tulisan sederhana ini, ada baiknya diberikan beberapa rekomendasi sebagai upaya memelihara, melindungi dan menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan. Pertama, mendesak pemerintah untuk menindak tegas para pelaku kekerasan, baik fisik maupun non-fisik-, terhadap kelompok-kelompok keagamaan dan kepercayaan lain, dalam menyikapi perbedaan keagamaan dan kepercayaan. Kedua, mendesak pemerintah untuk tidak tunduk kepada penghakiman massa dan kepada organisasi keagamaan tertentu yang memberikan fatwa sesat atas kelompok dan paham keagamaan dan kepercayaan tertentu. Ketiga, mendesak pemerintah untuk melindungi dan menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan bagi semua warga negara Republik Indonesia tanpa memandang agama dan kepercayaannya. Keempat, mencabut peraturan perundang-undangan yang (dianggap) membatasi kebebasan beragama dan berkepercayaan, dan mencegah munculnya berbagai peraturan perundang-undangan yang membatasi kebebasan beragama dan berkepercayaan. Kelima, mendesak pemerintah membuat undang-undang yang melindungi dan menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan yang dapat diterima oleh semua kelompok keagamaan dan kepercayaan. Keenam, mendesak pemerintah menjadi wasit dalam pertikaian intra dan antar umat beragama sesuai dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang disepakati itu tanpa mengganggu kebebasan beragama dan berkepercayaan.



[1] Disampaikan pada Kuliah Umum dan Dialog Publik dengan tema „Membincang Polemik Kebebasan Beragama di Indonesia,“ yang diselenggarakan oleh Jaringan Islam Kampus (JarIK) Jakarta dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, pada Selasa, 15 April 2008, di Auditorium Pusat Studi Jepang (PSJ) Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

[2] Mutjaba Hamdi, “Belakang Kelabu, Depan Masih Terjal,“ Syir’ah, No. 49/VI/Januari 2006, h.18.

[3] Tempo, Edisi Kemerdekaan, Edisi 14-20 Agustus 2006, h. 4.

[4] Hamdi, “Belakang Kelabu,” h. 19-20.

[5] Tempo, “Edisi Kemerdekaan,” h. 41

[6] Tunduk Pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara atas Persekusi Kebebasan Beragama & Berkeyakinan (Jakarta: SETARA Institute, 18 Desember 2007), h. 2.

[7] Monthly Report on Religious Issues, diterbitkan oleh The WAHID Institute, Edisi 4, November 2007, h. 5-6, 8

[8] Monthly Report on Religious Issues, Edisi 5, Desember 2007, h. 1, 4, 6.

wawancara JarIK dengan KAN

Transkrip wawancara Telisik dengan Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer (KAN)

Ketika persoalan kekerasan muncul dengan bermotifkan agama, maka timbul beragam tafsir dalam menyikapi hal ini. Kebanyakan orang lebih mudah menjawab dengan menuduh agama sebagai biang keladi, dan banyak pula yang secara apologetik mengelak kekerasan sebagai bagian dari agama. Untuk itu, redaksi Telisik memilih Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer untuk kami wawancarai guna menghadirkan salah satu persepektif dari tema besar agama dan kekerasan.

Telisik :

Dalam sejarah agama-agama, selain Islam, adakah tradisi kekerasan termaktub di dalamnya?

KAN :

Sejarah mencatat, setiap muncul agama baru biasanya akan diikuti dengan penentangan oleh agama lama. Ketika Nabi Isa lahir, ia dimusuhui oleh pendeta-pendeta Yahudi, hingga akhirnya disalib. Penentangan atas nama agama ini tidak hanya berlaku diantara agama-agama Ibrahim saja, tetapi seluruh agama Permusuhan itu dilakukan semata-mata atas nama agama, dan termasuk sebagai bentuk kekerasan. Penentangan ini bukan hanya dilakukan terhadap agama baru, melainkan juga terhadap sekte-sekte baru yang berbeda dengan sekte mainstream. Setiap sekte baru akan dimusuhi oleh aliran yang sudah pakem. Inilah kenyataan sejarah agama. Dalam tradisi Kristen, saat lahirnya Protestan menimbulkan pertentangan hebat hingga berdarah-darah dan memakan korban selama puluhan tahun. Umat Protestan dianggap membuat paham atau agama baru. Seseorang bisa membunuh atau melukai orang lain sebab perbedaan faham atau keyakinan agama. Persoalan teologis ini sudah dicampuri dengan kepentingan politis. Kasus lainnya terjadi dalam konteks klaim penyalahgunaan atau penodaan agama. Misalnya kisah hidup ilmuwan Galileo dan Copernicus, di mana mereka dianggap menyalahi doktrin al-Kitab. Copernicus dibunuh sebab menentang doktrin gereja, dengan mengatakan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari, dan bukan sebaliknya seperti yang diyakini gereja. Kekerasan atau permusuhan atas nama agama juga diarahkan pada penggagas teori evolusi., yang juga dianggap menyimpang dari doktrin agama. Pelanggaran-pelanggaran terhadap doktrin agama ini sekarang lazim disebut sebagai penodaan agama. Klaim-klaim penodaan agama itu terus berlangsung hingga kini.

Telisik :

Problemnya apakah kekerasan tersebut berasal dari teks agama ataukah problem penafsiran belaka yang disebabkan ambivalensi teks agama?

KAN :

Pasti itu problem penafsiran. Bila orang-orang yang melakukan kekerasan agama ditanya, mereka pasti menjawab bahwa mereka tidak bermaksud melakukan kekerasan. Namun, implikasi dari penafsiran yang eksklusif berdampak pada sikap keberagamaan yang kaku dan fanatik pada penafsiran aliran atau sekte sendiri. Mereka menganggap bahwa tafsir itu tunggal dan milik mereka sendiri. Padahal, kitab suci sangat terbuka untuk beragam tafsir. Al-Qurán saja tidak diberi catatan kaki oleh Tuhan sendiri. Itulah sebabnya, maka muncullah banyak ilmu tafsir, yang saling berbeda-beda. Sayangnya, terdapat kelompok fanatik yang memonopoli tafsir dan menginginkan tafsir tunggal. Lalu, atas nama tafsir eksklusif tersebut mereka melakukan kekerasan.

Namun, khusus di dalam Katolik lain lagi. Katolik sangat sentralistik. Jadi, di Katolik itu ada peraturan-peraturan untuk internal sendiri. Faham dan ajaran keagamaan harus sesuai dengan Vatikan. Juga buku-buku yang akan diterbitkan atas nama Katolik harus diperiksa terlebih dahulu supaya sesuai dengan Vatikan. Bila menentang aturan ini, maka seseorang bisa dikeluarkan dari Katolik. Jadi, kebebasan dibatasi sesuai dengan faham Katolik. Saya kira, untuk kasus Katolik, tidak bisa juga disalahkan seratus persen, dikarenakan faham Katolik yang memang sudah seperti itu. Meskipun demikian, ternyata justru filsafat tumbuh subur di dunia Katolik. Sebaliknya, kelompok fundamentalis malah berasal dari Protestan.

Telisik :

Lantas, adakah agama yang secara genuine tidak ada celah untuk melegitimasi tafsir kekerasan? Bagaimanakah halnya dengan agama Budha?

KAN :

Mungkin memang agama Budha itu agama yang paling damai, karena ajarannya banyak yang terkait dengan kemanusiaan seperti terlihat dalam prinsip-prinsip dasar ajarannya. Di dalam ajaran Budha, kita mungkin tidak akan menemukan ajaran-ajaran seperti potong tangan dalam syariát Islam. Agama Budha lebih sering menyebutkan perihal kasih sayang, kedamaian, pengorbanan, termasuk penghargaan terhadap makhluk hidup yang tidak boleh dibunuh. Karenanya kecenderungan gaya hidup mereka menjadi vegetarian. Bisa jadi larangan membunuh makhluk hidup itu karena menghindari kekerasan. Hal ini bisa jadi ditemukan pula dalam agama-agama lainnya seperti Jainisme dan Hinduisme. Namun, tidak bisa juga dikatakan bahwa hal ini sepenuhnya tidak berlaku dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam. Karena di dalamnya terdapat kelompok-kelompok sufisme atau tasawuf, di mana ajaran cinta kasih sangat kuat juga. Kita tidak bisa mengeneralisir, namun kan yang lebih dominan yang mana. Sekarang orang hidup berpolitik, berekonomi, berinteraksi dengan masyarakat-masyarakat lain, meski pengaruh agama tetap sangat besar. Peperangan atau konflik di dunia, walau pelakunya sebagian beragama tertentu, tidak otomatis problemnya terletak pada agama yang dianutnya tersebut. Bisa jadi problemnya adalah etnisitas dan politik. Terkadang, masalah agama campur aduk dengan kepentingan politis dan etnisitas. Dalam agama-agama timur, faktor agama ini lebih cair ketimbang pada agama-agama semitik, dalam hal konflik agama. Akhirnya, kita tidak bisa gegabah dalam melihat satu kasus, lantas mengenaralisir bahwa agama tertentu itu keras seluruhnya.

Telisik :

Bagaimana cara membedakan mana faktor yang lebih dominan dalam kasus kekerasan, antara faktor agama ataukah faktor politik, manakala agama masuk ke dalam ranah politik?

KAN :

Untuk menganalisis hal tersebut, maka harus diperiksa terlebih dahulu bagaimana faham teologisnya. Misalnya, dalam kasus Ahmadiyah, ada orang yang faham teologisnya tidak anti Ahmadiyah, akan tetapi secara politis dia mendukung isu anti Ahmadiyah. Bahkan, bisa jadi dia sebenarnya tidak paham bagaimana sebetulnya teologi Ahmadiyah. Jadi, harus dilihat bagaimana basis teologis yang dianutnya. Apakah eksklusif atau pluralis. Di samping itu, juga harus dilihat per kasus. Misal, bila tetangga Anda ada yang menginjak-injak Al-Qurán, maka sangat mungkin itu disebabkan faktor agama. Terlepas, apakah yang menginjak-injak itu orang kaya atau orang miskin. Contoh lainnya, kasus konflik di Maluku. Sangat jelas bahwa agama memang menjadi faktor utama konflik itu, namun harus dilihat lagi bahwasanya memang ada kelompok-kelompok yang sengaja memainkan isu agama itu demi kepentingan politisnya. Inilah contoh di mana saat faktor politis satu suara dengan faktor agama, sehingga menampakkan bentuk kekerasan yang nyata. Namun, sekali lagi, kita harus memperhatikan secara partikular kasus per kasusnya, dan karenanya tidak bisa digeneralisir.

Telisik :

Beberapa kasus bernuansa agama seringkali dikaitkan dengan pasal penodaan agama, bagaimana menurut bapak?

KAN :

Istilah penodaan agama itu sendiri tidak jelas dan bisa diberi multitafsir. Penodaan agama bisa diartikan secara berbeda dan bisa sangat luas. Sangat mungkin, setiap penafsiran yang berbeda bisa disebut sebagai penodaan agama. Karenanya, hal ini sangat menyakitkan. Kata penodaan agama ini bagi saya sangat fleksibel dan tergantung pada kepentingan apa dan siapa. Bisa saja kan dengan pasal penodaan agama itu, Syiáh disebut menodai agama. Misal, faham mereka bahwa imam itu maksum, padahal kepercayaan umum kan tidak. Umat Syiáh juga mengatakan bahwa para imam itu mengeluarkan hadits. Sebaliknya, kita percaya bahwa hanya Nabi yang mengeluarkan hadits. Hal yang mungkin terjadi pada Syiáh ini mungkin sudah menimpa Ahmadiyah secara aktual. Akan tetapi, bila seseorang atau suatu kelompok menginjak-injak Al-Qurán, itu jelas salah.

Telisik :

Jadi, untuk bisa memecahkan problem sekarang ini, di mana kekerasan atas nama agama banyak sekali terjadi di Indonesia, pada level mana dulu penyelesaian masalah dilakukan?

KAN :

Saya kira, dialog antar agama dan intra agama-beda faham. Tapi, memang dialog tidaklah mudah, sebab ada kelompok-kelompok atau orang yang tertutup. Untuk jangka panjang, saya kira level pendidikan yang harus dibenahi. Pendidikan yang diajarkan kepada para siswa yang mengajarkan kebencian pada kelompok lain kan masih banyak. Praktik pendidikan yang seperti ini seharusnya dibenahi. Hal lainnya, kondisi sosial-ekonomi masyarakat harus diatasi juga. Sebab, banyak orang-orang miskin dan menganggur yang sangat mudah diprovokasi. Sehingga, bila mereka dibayar dengan sedikit uang saja, mereka bersedia untuk melakukan berbagai aksi anarkis. Jadi, memang banyak unsur yang mempengaruhi terjadinya kekerasan atas nama agama. Tingkat pendidikan masyarakat juga sangat berpengaruh. Di samping juga, unsur politis yang sengaja menggunakan isu agama untuk merebut kekuasaan. Terlebih, Indonesia saat ini mendekati masa Pemilu 2009 kan. Agama bisa dijadikan komoditas politik yang efektif. Kesemua faktor-faktor ini berjalan bersamaan.

Telisik :

Jadi, bisa kita disimpulkan bahwa tidak mungkin agama secara natural mengajarkan kekerasan?

KAN :

Tentu saja. Tapi, kita jelas harus toleran dengan tafsir lain yang berbeda. Jangan dikatakan, karena berbeda tafsir maka suatu kelompok dianggap mengobok-obok Al-Qurán.

Telisik :

Jadi, bisa juga disimpulkan bahwa sampai kapan pun persoalan agama tidak akan pernah dapat terpecahkan?

KAN :

Jelas. Sampai kiamat tidak akan pernah berakhir. Sebab, tidak akan ada kebaikan tanpa adanya kejahatan. Tapi, biarpun demikian, Anda jangan berpihak pada kejahatan. Anda juga tidak mungkin menyatukan sebuah perbedaan, terlebih perbedaan faham agama. Tafsir itu tidak tunggal. Kategori kekerasan juga tidak hanya berupa kekerasan fisik saja. Mengancam keyakinan orang lain juga termasuk kategori kekerasan. Bayangkan saja, Anda menganut sebuah faham, lalu faham yang Anda yakini itu dilarang oleh orang lain. Itu kan jelas kekerasan. Ketika seseorang melarang orang lain, orang itu harus berpikir bagaimana kiranya bila dirinyalah yang dilarang. Jelas orang itu akan keberatan juga kan. Ajaran agama-agama juga sejatinya mendukung perihal penghargaan dan cinta kasih terhadap orang lain. Prinsipnya, kekerasan terjadi ketika seseorang membuat orang lain tidak nyaman. Termasuk, di dalamnya diskriminasi.

Telisik 2

Resensi

Oleh : Yusep Munawar Sofyan

Judul : Melawan ‘Tentara Tuhan’; Yang Berwenang dan Yang Sewenang-wenang dalam Wacana Islam.

Penulis : Khaled M Abou El Fadl

Penerbit : Serambi

Keter-asing-an. Setidaknya, itulah kata yang tepat untuk mewakili kondisi kaum Muslim saat ini. Tatanan komunitas Muslim saat ini seolah tidak memiliki ruang interaksi. Mereka seolah telah ter-asing-kan dari tatanan sosial masyarakat. Itulah kesimpulan yang didapatkan Khaled M Abou El Fadl dalam pandangannya atas kondisi kaum Muslim saat ini, yang kemudian ia paparkan secara komperhensif dalam bukunya yang berjudul “Melawan ‘Tentara Tuhan’; Yang Berwenang dan Yang Sewenang-wenang dalam Wacana Islam”.

Fadl cenderung melihat adanya sebuah ketakutan dan ketidak berdayaan kaum Muslim –khususnya Muslim puritan dan Wahabisme- dalam menapaki jenajng kehidupan dunia yang sarat dengan fenomena dan pluralitas. Kondisi tersebut kemudian berkonsekuensi pada lahirnya klaim-klaim keagamaan yang bersifat eksklusif-radikal. Pandangan yang kemudian menggelindinkan klaim subjektif bahwa Islam yang benar adalah Islam Ahl as Sunnah wal al Jamma’ah.

Bertolak dari pandangan eksklusif-subjektif tersebut, Fadl kemudian mencoba mengambil segmen dengan berupaya ofensif guna menentang ‘mereka’ yang bobot moral hukum Islam dalam menggagas panmdangan keagamaannya. (Fadl, 36)

Menurut Fadl, fenomena keagamaan yang berkembang dalam tatanan masyarakat kerap ter-politisasi. Sehingga, cenderung berkembang pandangan bahwa pandangan mayoritas lah yang benar. Pada titik ini Fadl kemudian melayangkan kritik ofensifnya dengan berpendapat “Umat Islam boleh berusaha keras untuk menemukan kehendak Tuhan, tetapi tidak seorang pun yang memiliki otoritas untuk mengajukan klaim eksklusuf atas kebenaran itu. (Fadl, 40)

Fadl menambahkan, Tuhan tidak menuntut kebenaran objektif dan tunggal. Namun, Tuhan menghendaki agar umat manusia mencari kehendak Tuhan dan berusaha meneguhkannya. Kebenaran tersebut adalah sebuah kebenaran sejati yang dicari melalui pengembaraan keagamaan yang ofensif.

Otoritas yang patut dihargai sebagai kekuatan otoritatif adalah teks keagamaan itu sendiri. Namun, menjadi problematika keagamaan selanjutnya yaitu upaya interpretasi atas teks tersebut kerap ‘menjebak’ sang interpretator pada klaim subjektif akan kebenaran interpretasinya. Oleh karena itu, Fadl selalu memperingatkan manusia agar tidak berupaya memaksakan interpretasinya kepada pihak lain. Dalam artian, Fadl masih membuka ruang toleransi dan pluralitas bagi berbagai interpretasi atas teks. Sehingga nantinya akan lahir berbagai interpretasi yang beragam sesuai dengan pandangan sang interpretator. Sebab, teks itu otoritatif, namun tidak otoriter.

Alhasil, melalui bukunya ini, Khaled M Abou El Fadl mecoba memperingatkan umat Islam agar tidak mencoba menjadi ‘tentara Tuhan’ yang kerap melayangkan klaim subjektif-eksklusif atas Islam dan memaksakannya pada pihak lain. Sehingga nantinya akan terbentuk sebuah peradaban Islam yang plural, toleran dan damai.

Acara JarIK Jakarta

DESKRIPSI KEGIATAN

Nama : Kuliah Umum dan Diskusi Publik

Waktu : Selasa, 15 April 2008 pukul 09.00 s/d 12.30

Tempat : Auditorium Pusat studi Jepang Universitas Indonesia (UI)-Depok

Tema : “Membincang Polemik kebebasan beragama di Indoneisia”

Selasa, 15 April 2008 yang lalu diselenggarakan sebuah kegiatan yang diselenggarakan oleh Jaringan Islam Kampus (JarIK) Jakarta dan HMI FIB-UI. Kegiatan yang bertempat di Auditorium Pusat Studi Jepang (PSJ) Universitas Indonesia tersebut bertema Membincang Polemik Kebebasan Beragama di Indonesia”. Dalam pelaksanaannya, kegiatan yang didukung oleh The Religious Freedom Project (RePro), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) itu dibagi ke dalam dua sesi: Kuliah Umum dan Dialog Publik. Sesi pertama, Kuliah Umum, menghadirkan tiga narasumber yang cukup kompeten; yakni, Prof.Dr.Franz Magnis Suseno (Guru Besar STF Driyarkara), Munasir, SH (Kuasa Hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia), dan Prof.Dr.Kautsar Azhari Noer (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah). Sesi kedua, Diskusi Publik, mengundang narasumber yang juga sangat layak dibidangnya; yakni, Prof.Dr.Melani Budianta (Guru Besar Universitas Indonesia), Dr. Abdul Moqsith Ghazali (Aktivis Jaringan Islam Liberal), Ir. Ismail Yusanto (Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia), Asfinawati, SH (Direktur LBH Jakarta).

Mengawali pembicaraan sesi Kuliah Umum, Romo Magnis menyatakan bahwa sebuah keniscayaan jika terdapat perbedaan keyakinan tentang bagaimana memaknai Tuhan dan jalan menujuNya itu. Adanya keyakinan yang berbeda jelas bukan tanggung jawab manusia atau bahkan negara. Dengan demikian, pelabelan kata sesat pada keyakinan yang dianggap berbeda telah malampaui otoritas manusia. Yang berhak menentukan sesat tidaknya suatu keyakinan hanyalah Tuhan sendiri. Komunitas keagamaan yang melihat orang atau komunitas lain tidak sejalan dengan keykinannya paling banter menyebutnya sebagai berbeda atau tidak sejalan dengan komunitas dia, selebihnya tidak. Dan negara, tugasnya adalah mengatur agar jangan sampai terjadi kekacauan tindak-tindak kriminal yang disebabkan oleh perbedaan keyakinan tersebut, bukan menghakimi.

Masih di sesi yang sama, pak Munasir menyatakan kesedihannya bahwa di negeri ini penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ahmadiyah sebagai pihak yang diintimidasi oleh kalangan Islam lainnya justru dinyatakan dilarang keberadaannya di Indonesia. “Keadilan macam apa ini!” tegasnya kesal. Kekesalan itu diungkapkan karena selama ini, menurut dia, Jemaat Ahmadiyah tidak pernah mengganggu jemaat-jemaat yang lain. Seraya menyindir para penentu kebijakan, dia berkata, “Tunggu saja kebangkrutan negara Indonesia ini jika hukum telah gagal menjadi penengah yang adil dalam menghadapi keberagaman keyakinan di Indonesia.”

Pembicara terahir di sesi Kuliah Umum, pak Kautsar, mengutarakan keyakinannya jika harapan adanya perlindungan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan itu terbuka lebar. Memang, selama beberapa tahun ini sangat nampak ancaman akan kebebasan beragama ini dari mereka yang mengatasnamakan diri dari kalangan Islam. Meskipun demikian, para pembela kebebasan beragama dan pluralisme masih belum mati, malah semakin menguat. Ini terlihat baik dari banyaknya lembaga-lembaga yang konsern di religious freedom, dan juga dari karya-karya yang bernafaskan pluralisme agama.

Setelah berjalan selama kurang lebih satu setengah jam, sesi Kuliah Umumpun ahirnya berahir dan dilanjutkan dengan sesi Dialog Publik.

Tampil sebagai moderator sesi Dialog Publik tersebut seorang intelektual muda muslim sekaligus aktivis kebebasan beragama dari Religius Reform Project, Saidiman. Mengawali sesi kedua itu dia meyatakan penyesalannya bahwa, karena kendala teknis, sebuah film dokumenter yang disebutnya sebagai “fitna 2” tidak dapat ditayangkan. “Padahal,” tandasnya, “dalam film fitna 2 tersebut sangat jelas terlihat bahwa bebepaka kalangan muslim yang tidak bertanggung jawab masih menggunakan kekerasan sebagai media dakwah.”

Narasumber pertama di sesi kedua, Ibu Melani, mengangkat tema kebebasan beragama dari persfektif multikulturalisme. Untuk mengantisipasi silang pemahaman tentang “isme” yang satu ini, dia membatasi pengertiannya sebagai “ruang” di mana keberagaman dibicarakan tanpa kekerasan dan sebuah sikap yang menghargai fakta keragaman itu sendiri. Sebagai sebuah catatan, bicara tentang “kebebasan beragama dalam persfektif mulitikulturalisme” tidak harus dimaknai sebagai relativisme agama; namun tidak juga dalam arti penyeragaman. Yang bisa kita sikapi dari persfektif ini adalah karena keyakinan di Indonesia itu sangat beragam, dan Indonesia sendiri bukan berdasar pada suatu keyakinan tertentu, maka yang harus dibicarakan adalah bagaimana fakta sosial keberagaman keyakinan itu tidak sampai berimbas pada kekerasan. Untuk itu, menjadikan hukum positif sebagai rule of the game kehidupan bersama masyarakat Indonesia menjadi sebuah keniscayaan.

Jika ibu Melani mendedahkan permasalahan beragama dan berkeyakinan dari sisi keberaragaman, maka dua narasumber selanjutnya membicarakan keberagaman agama itu sendiri dari persfektif agama mayoritas di Indonesia; Islam. Di sini, dihadirkan dua narasumber—Ustadz Ismail dari HTI dan Ustadz Moqsith dari JIL—yang sekalipun masih ada beberapa kesamaan pandangan, tapi terdapat juga pandangan yang bersebrangan.

Yang senada dari kedua narasumber tersebut adalah bahwa Quran dan Sunah sebagai sumber ajaran Islam sangat menjaga pluralitas agama atau kebebasan beragama, atau bahkan untuk tidak beragama sama sekali; dan mengecam keras tindak kekerasan terhadap penganut keyakinan yang lain. Yang berbeda dari keduanya adalah dalam pengakuan akan pluralisme agama atau pengakuan akan adanya keselamatan bagi penganut agama lain, dan dalam melihat makna perbedaan di dalam tubuh Islam sendiri.

Di satu sisi, Ismail menegaskan bahwa keselamatan di hari ahir hanya mungkin bagi mereka yang berada dalam koridor Islam. Dan, mengotak-atik ajaran Islam berarti merusak kesempurnaan Islam. Di sisi lain, Moqsith membuka peluang bagi adanya keselamatan di hari ahir bagi mereka yang bukan beragama Islam. Karena, terdapat fakta historis dimana Nabi mengakui seorang pendeta Nasrani sebagai ahli syurga. Terkait adanya perubahan dalam ajaran Islam, Moqsith pun bersikap serupa; sangat terbuka kemungkinan bagi adanya penafsiran yang berbeda atas suatu ajaran Islam tertentu.

Nah, bagaimana konsekwensi dari masing-masing pandangan (kedua narasumber) di atas terhadap kasus-kasus seperti Ahmadiyah? Bagi Ismail, Ahmadiyah adalah contoh dari ajaran yang mengacak-ngacak ajaran Islam. Maka jelas bahwa Ahmadiyah adalah ajaran yang sesat. Bagi Moqsith, sejauh prinsip kontingensi (mungkin benar dan mungkin salah) berlaku dalam setiap proses penafsiran, maka hendaknya kita menahan diri untuk melabelsesatkan setiap penafsiran-penafsiran yang berbeda.

Beranjak dari pembahasan teologi Islam, kajian hukum menjadi sangat menentukan sejauh mana kebebasan beragama itu dibatasi.

Pembicara Terakhir yakni asfinawati menjelaskan bahwa dalam terminologi hukum, pembatasan disebut pelanggaran kalau menghalangi seseorang untuk berekspresi dan berkeyakinan. Pembatasan sama dengan pelarangan karena melanggar UU 12/2005 ps.18 (1) & ( 2) ICCPR. Mengomentari permasalahan penodaan agama, Asfin menambahkan bahwa kata menodai Agama adalah masalah hukum yang problematik, karena siapa yag berhak atau bersaksi atas nama agama? Kata menodai agama terlalu luas dan tidak jelas ukuranya, siapa pemilik resmi agama?, Asfin menjelaskan bahwa fatwa-fatwa MUI baru bermasalah kalau fatwa-fatwa teersebut melakukan penghasutan untuk menghancurkan, dan menyegel barang-barang atau aset-aset korban, yang berhak untuk menyegel hanyalah prosedur hukum dan aparat pemerintah yang telah jelas ketetapan hukumnya. (Fauzan Hasanudin)

Tokoh

Jenar

Siapa yang menghukum mati seseorang karena iman dan pendirian, maka mereka akan mendengar sepotong kepala yang tertawa.

Tak banyak kenangan serta warisan literal-tekstualis ilmiah yang dapat dikonsumsi oleh kalangan intelektual –khususnya Muslim- era ini guna memperkokoh bangunan intelektualisme dirinya dari sosok cendekiawan sekaligus sufi yang melegenda di tanah Jawa bernama Syekh Siti Jenar itu. Padahal, pemikiran-pemikiran sufistik-foilosofisnya ternilai sarat dengan nilai-nilai intelektualisme yang mendalam yang potensial guna menjadi warisan bagi masa depan peradaban Islam. Terlebih dari itu, sederetan pemahaman serta doktrin sufistik-filosofisnya seharusnya telah menempatkannya sebagai tokoh –bahkan simbol- kejayaan peradaban intelektual Muslim. Namun, tetap saja, konteks sosial masyarakat di sekitar Jenar kala itu tak berkesimpulan secerah itu. Sejarah mengabadikan tragedi pemancungan atasnya di hadapan para wali dan petinggi istana, seolah hendak menunjukkan kesan bahwa mereka –yang kemudian menjadikan agama sebagai objek legitimasinya- tak akan pernah mengakui sebuah gagasan-gagasan pemikiran gemilang yang ‘memaksa’ untuk melampaui –bahkan menerobos- patokan-patokan pemikiran literalis-tekstualis yang telah dipatok oleh cendekiawan-cendekiawan Muslim masa lalu.

Namun, sebuah hikayat sederhanan tentang tragedi pemancungan yang menimpa Jenar di abad ke-15 atas dasar ke-‘sesat’-an pemikirannya, tampaknya cukup untuk mewakili sebuah kesimpulan bahwa Jenar adalah sosok yang menyimpan pemahaman keislaman bernuansa filosofis-sufistik yang sepatutnya menjadi rujukan bagi setiap intelektual yang hendak hanyut dalam samudera sufistik-filosofis. Sebuah hikayat dalam hal ini dirasa cukup untuk menggugah naluri sosok intelektual masa kini untuk mengembara merajut nilai-nilai serta pemikiran-pemikiran sufistik-filosofis yang mungkin tersisa dari sosok Jenar.

Alkisah, terobosan intelektualisme berupa terbangunnya pemikiran-pemikiran serta doktrin-doktrin sufistik-filosofis yang dikembangkan Jenar justru telah mengantarkannya pada tiang pancungan yang dibangun oleh kekuatan politik tirani-otoriter yang mendapat legitimasi dari sebagian cendekiawan kala itu. Pasalnya, terobosan pemikiran intelektual sufistik-filosofis Jenar dinilai telah ‘sesat’ dan menerobos sekat literalis-tekstualis doktrin-doktrin dan pemikiran-pemikiran paten yang telah digariskan oleh cendekiawan sebelumnya.

Pemancungan itu dilakukan pada hari Jum’at –setelah selesai shalat- di halaman Masjid Keraton. Tiga variabel–hari Jum’at, setelah selesai shalat dan halaman Masjid Keraton- seolah menjadi simbol penopang klaim subjektif mereka (yang telah memancungnya) bahwa legitimasi agama telah menyertai proses pemancungan petinggi agama ‘sesat’ bernama Syekh Siti Jenar itu.

Yang menarik untuk diungkap sebagai titik janggal bagi klaim ke-‘sesat’-an pemikiran Syekh Siti Jenar saat itu yaitu sebuah realitas sosial-keagamaan yang terjadi pascaproses pemancungan atasnya. Konon, kepala jenar yang telah copot dan terpisah dengan raganya tertawa, seolah menertawakan mereka yang telah mengembangkan paradigma dan perspektif negatif atas Jenar dan corak pemikiran sufistik-filosofisnya. Kepala Jenar mungkin kala itu sedang menertawakan mereka yang dinilai terlalu ‘dini’ pemahaman dan pemikiran keagamaannya untuk memahami sebuah terobosan pemikiran sufistik yang telah digagaskan sosok cendekiawan dan sufi bernama Jenar itu, khususnya tentang konsep “manunggaling kawula gusti” Jenar. Bahkan, mungkin saja saat itu kepala Jenar tertawa karena berpikir: “Mengapa mereka memancung saya?”

Tak berhenti sampai disana, kepala itu pun berseru kepada bercak darah yang telah terhampar di halaman masjid untuk kembali ke tubuh, sebab jika tidak, ia menyeru bahwa darah-darah itu akan gagal untuk masuk surga. Maka, darahnya pun cepat mengalir balik ke urat nadi, dan bercaknya tak lagi tampak tercecer di halaman Masjid Keraton. Tak berhenti sampai disana, kepala Jenar pun mengitari jasadnya sebanyak tiga kali, dan akhirnya bertaut tepat kembali ke tubuhnya. Tak ada bekas luka lagi. Bahkan, paras wajahnya mengeluarkan cahaya berderang dan mengucap salam syahdu -“Assalamu’alikum”- wujud kesantunan dan keislaman sikap Jenar dalam memandang mereka yang telah memancungnya. Syahdan, Jenar masih tetap melantunkan harapan dan do’a keselamatan atas mereka.

Momen itu memang kental dengan nuansa mistis, namun setidaknya hikayat itu hingga kini tetap bercokol melegenda dan menjadi simbol kebesaran sosok cendekiawan Muslim bernama Syekh Siti Jenar itu. Hikayat itu sekaligus telah meruntuhkan monumen legitimasi praktek diskriminasi –terlebih arakisme- dalam menyikapi terobosan pemikiran dan pemahaman intelektual-keagamaan setiap individu. Hikayat itu telah menggema di sepanjang abad sejak abad ke-15 mengisyaratkan bahwa sebesar dan sekeras apapun upaya yang dilakukan untuk ‘memancung’ pemikiran-pemikiran dan pemahaman-pemahaman ‘unik’, patut diingat bahwa masih ada yang tak bisa mati dan luput dari rumusan kata dan pikiran (lenyep ing kawekasane/pan tan kena winuwus). Sosok bolehlah terpancung oleh kekuasaan dan kekerasan, namun sebuah pemikiran tak akan pernah ‘terpancung’ pula. Ia akan terus mengalir deras menyusuri setiap generasi intelektual guna memberikan kontribusi dalam membangun tradisi serta peradaban intelektual-ilmiah yang lebih ideal di masa depan. Jenar melambangkan itu semua. Semakin ia dipancung, semakin deras pula benih-benih pemikiran dan pemahaman intelektual ‘unik’ yang tertanam dan akan bermunculan di masa depan olehnya. Tak heran jika Nancy K Florida dalam Writing the Past, Inscribing the Future melantunkan hipotesa mendalamnya atas puisi Jawa yang ditulis pada tahun 1849 –Babad Jaka Tingkir- mengenai kisah tentang Syekh Siti Jenar.



Negara dan Arti Agama

Negara dan Arti Agama

Oleh: Bahrul Haq Al-Amin

Akhir-akhir ini, problem kebebasan beragama menjadi semakin krusial. Masyarakat indonesia tidak mungkin lupa dengan berbagai peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang silih berganti, terutama sejak tahun 2005. Penutupan rumah ibadah, perusakan fasilitas komunitas umat beragama, penjatuhan vonis penodaan agama sepihak, dan masih banyak lagi. Seakan-akan Indonesia telah meleset menjadi negeri beragama namun tak beradab.

Faktanya, agama ditafsirkan berbeda-beda oleh manusia. Kita boleh berasumsi, bahwa berangkat dari ketidakjelasan pengertian agama inilah problem kebebasan beragama bermula. Meski begitu, negara tidak bisa secara sepihak menentukan mana agama yang absah, dan mana yang tidak. Negara sebisa mungkin harus netral dalam hal ini. Atau, paling tidak menggunakan rumusan pengertian agama yang lebih universal.

Upaya elaborasi atas pengertian agama akan menghindari perdebatan lebih jauh tentang relasi agama dengan sistem lainnya, semisal negara. Karenanya, kita dituntut agar berusaha menemukan karakteristik khas agama. Dengan demikian, kita dapat mencapai pemahaman agama yang independen. Sebuah pemahaman yang terhindar dari tarik-menarik kepentingan para penganutnya, sehingga menampakkan arti universal istilah agama itu sendiri.

Alberico Gentili (1552-1608), seorang Protestan Italia, mengatakan bahwa, “Agama adalah urusan nalar dan kehendak, yang selalu berhubungan dengan kebebasan....Nalar kita dan apapun yang ada di dalamnya tak bisa dipengaruhi oleh kekuatan luar manapun....Apakah anda mengerti? Agama semestinya bebas.”

Narasi Gentili ini seakan menepis keraguan atas relasi yang tak pasti antara agama, nalar dan kebebasan. Selama ini agama dipandang sebagai sebuah sistem pengetahuan transenden yang sulit dicapai nalar. Agama juga dituduh tidak memberi ruang kebebasan nyata bagi pemeluknya dan pihak luar lainnya. Gentili ingin menegaskan bahwa agama harus beriringan dengan kebebasan. Karenanya, tesis ini akan mendasari uraian kita ke depan.

Terdapat dua aspek penting dalam mendefinisikan agama. Pertama, meliputi asumsi metafisika mengenai asal mula agama. Kedua, meliputi tipe pengertian yang digunakan.

1. Asumsi mengenai asal mula agama

Pengertian agama meliputi asumsi asal mula agama. Tiga teori mendasar tentang agama antara lain: pertama, agama dalam konteks metafisika dan teologisnya (contoh kebenaran akan adanya Tuhan, the Dharma, dsb.); kedua, agama sebagaimana secara psikologis dialami oleh orang (contoh perasaan orang tentang kesucian, akhirat, dsb.); dan ketiga, agama sebagai kekuatan sosial budaya (contoh simbolisme yang mengikat sebuah masyarakat bersama-sama atau memisahkannya dari masyarakat lainnya)

2. Tipe pengertian: Esensialis atau Politetis

Pengertian bertipe esensialis mengidentifikasi elemen yang dibutuhkan untuk sesuatu yang disebut sebagai agama. Contoh pengertian bertipe esensialis mengartikan agama secara reduksionis menjadi hanya teistik saja (dan bahkan monoteistik). Intinya, dalam tipe esensialis, setiap agama harus memiliki elemen spesifik. Tipe kedua, yaitu politetis, berpendapat tidak harus seluruh agama memiliki elemen spesifik.

Untuk mendamaikan pengertian agama memang tidak mudah. Namun, bagi umat beragama, arti agama sekalipun tidak menjadi soal. Agama adalah apa yang sehari-hari mereka percayai dan lakukan. Permasalahannya adalah konteks perdaban umat manusia saat ini menunjukkan pluralitas agama itu sendiri. Terlebih, masing-masing memiliki klaim kebenarannya sendiri-sendiri. Aspek-aspek penting untuk menerjemahkan agama di atas ditinggalkan tanpa mendapat apresiasi lebih dalam.

Selanjutnya, untuk memahami agama dalam konteks ini, kita menemukan tiga segi agama (T. Jeremy Gunn, 2003). Pertama, agama sebagai kepercayaan. Agama sebagai kepercayaan menyinggung keyakinan yang orang pegang mengenai hal-hal seperti Tuhan, kebenaran, atau doktrin kepercayaan. Kepercayaan terhadap agama menekankan, contohnya, kesetiaan pada doktrin-doktrin seperti rukun Islam, karma, dharma, atau pesan sinkretik lainnya yang menurut banyak doktrin agama mendasari realitas kehidupan.

Kedua, sementara agama sebagai kepercayaan menekankan pada doktrin, agama sebagai identitas menekankan pada afiliasi dengan kelompok. Dalam hal ini, identitas agama dialami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan keluarga, etnisitas, ras atau kebangsaan. Jadi, orang percaya bahwa identitas agama merupakan sesuatu yang didapatkan setelah proses belajar, berdoa, atau refleksi.

Segi agama yang ketiga ialah agama sebagai jalan hidup (way of life). Dalam segi ini, agama berhubungan dengan tindakan, ritual, kebiasaan dan tradisi yang membedakan umatnya dari pemeluk agama lain. Contohnya, agama sebagai jalan hidup bisa mendorong orang untuk hidup di biara atau komunitas keagamaan, atau melakukan banyak ritual, termasuk shalat lima waktu, mengharamkan daging babi, ataupun menyunat. Dalam segi ini, keimanan berusaha tetap dipegang, bahkan perlu untuk diimplementasikan.

Sekali lagi, kita dihadapkan pada adanya perbedaan segi agama yang diambil oleh para pemeluk agama. Lagi pula, tidak begitu jelas, segi agama mana yang paling benar dan absah. Apakah agama cukup hanya sekedar kepercayaan an sich? Ataukah hanya simbol altruisme kelompok? Atau malah harus menjadi jalan hidup? Tentu saja, masing-masing agama menonjolkan segi agama yang berbeda-beda.

Dalam komentar atas artikel 18 ICCPR, komisi HAM PBB memilih pengertian agama yang luas: ”Artikel 18 melindungi kepercayaan teistik, non-teistik, dan ateistik, sebagaimana hak untuk menunjukkan agama atau kepercayaan. Artikel 18 dalam pelaksanaannya tidak dibatasi kepada agama tradisional atau agama dan kepercayaan dengan karakteristik terlembaga....”

Komentar komisi HAM PBB ini menunjukkan sebuah komitmen atas kebebasan dan toleransi, sekaligus menghindari diskriminasi. Bahwa perlindungan kebebasan beragama sangat luas cakupannya, meliputi kepercayaan teistik – agama samawi dan agama ardli – , non teistik, dan bahkan ateistik. Artinya, dalam konteks hak asasi manusia, perbedaan tafsiran agama dan kegiatan beragama tidak menjadi problem utama. Tekanannya lebih pada upaya perlindungan HAM itu sendiri.

Kembali pada negara dan kebebasan beragama. Peran negara jelas sangat sentral dalam usaha penegakan kebebasan beragama. Termasuk dalam menentukan arti agama. Beragam permasalahan bermunculan seperti; pengakuan enam agama resmi dalam UU No. 1/PNPS tahun 1965, ketentuan penodaan agama dalam Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965, serta berbagai ambiguitas dan inkonsistensi lainnya.

Karena itulah, negara perlu meninjau kembali definisi agama versinya agar sesuai dengan prinsip netralitas negara atas agama-agama. Kesulitan mengartikan agama di awal pembicaraan menyadarkan kita bahwa negara harus mengambil definisi agama yang lebih universal. Implikasinya adalah agama-agama yang saat ini tidak diakui pemerintah akan mendapat kesempatan pengakuan yang sama sebagaimana enam agama “resmi” saat ini.

Agama dan kekerasan

Agama dan Kekerasan

Oleh Yusep Munawar Sofyan

Dewasa ini, agama menjadi masalah yang paling sensitif diperbincangkan. Agama bermasalah bukan hanya pada masa sekarang, namun sudah sejak dilahirkanya ke dunia ini, agama menjadi sumber masalah atau bahkan penyebab permasalahan. Salah satu penyebab agama bermasalah, dan dipermasalahkannya adalah adanya pembagian konsep antara samawi dan ardhi. Dua terminologi tersebut menjadi salah satu gap antara umat manusia dalam berhubungan yang kemudian meruncing dari permasalahan vertikal menjadi permasalahan horizontal.

Klaim-klaim pembenaran atas tindakan kekerasan pun semakin mempertegas bahwa agama memiliki unsur menindas dalam beberapa hal. Dalam beberapa tradisi, agama menjadi salah satu momok menakutkan. Salah satu contoh adalah hegemoni gereja abad pertengahan, di mana gereja menjadi barometer dalam menentukan kebijakan negara. Negara berada di bawah bayang-bayang gereja dan negara tidak mampu untuk dewasa dalam menentukan kebijakan, karena senantiasa di bayang-bayangi oleh tirani gereja.

Beberapa definisi mengenai kesatuan antara negara dan agama sempat menyeruak kepermukaan diantaranya adalah konsep yang dibawa oleh Augustinus dalam tradisi Barat dan Abu A’la Maududi dalam tradisi Islam. Kesatuan antara negara dan agama ini lebih jelas ditekankan oleh Maududi dengan konsep theodemokrasi, yakni ada tangan Tuhan yang ikut menuntun peri kehidupan masyarakat yang didefinisikan dalam al-Qur’an atau kitab suci. Selama ini, pemahaman dalam kitab suci agama menjadi dalih legitimasi untuk melakukan kekerasan. Apakah benar bahwa agama hanya memiliki ajaran yang monolitik?

Agama dan Tradisi Islam

Dalam tradisi Islam penghayatan atau penafsiran mengenai agama dan ajaranya menjadi sangat kompleks, sehingga sulit untuk mendefinisikan siapa yang benar. Urusan benar dan salah sepenuhnya menjadi hak perogatif tuhan dalam menghukumi, mengingat ada beberapa ajaran yang terlihat bias.

Dalam salah satu acara seminar di UI tanggal 15 April 2008, A Moqsith Ghazali mengutarakan bahwa argumentasi mengenai agama atau khususnya kebebasan beragama, sangat banyak varianya, setidaknya Moqsith mengutarakan pandangan atau pendapat ulama kahususnya mengenai kebebasan beragama. Tiga kerangka berpikir tersebut tentu memiliki acuan atau dasar teologis dalam pelaksanaanya. Pertama, dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menyuruh untuk berperang dan menghancurkan dengan tidak mentolelir masalah akidah seseorang (Kebebasan Beragama haram!) salah satu legitmasinya adalah ayat yang menyatakan bahwa “agama yang yang berada di sisi Tuhan adalah Islam”. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan itu harus ditegakkan dalam setiap kondisi. Terdapat ayat-ayat yang sangat toleran bahkan mengajarkan pola berhubungan antar masyarakat salah satu rujukan teologisnya adalah “Tidak ada paksaan dalam beragama”, dan ketiga, pandangan yang menyatakan bahwa agama dalam beberapa segi ambivalen, yakni di satu sisi menyuruh kepada menggunakan dalih untuk tidak toleran, sedangkan di sisi lain terdapat ayat-ayat yang mengatur pola hubungan yang toleran dan inklusif.

Tiga varian pandangan di atas setidaknya harus menjadi stereotif bahwa pandangan Islam itu tidak monolitik, karena seluruh pandangan tersebut bernash artinya banyak pilihan dalam menentukan kebijakan teologis tertentu yang akan dianut.

Namun perkembangannya di beberapa negara muslim, pandangan-pandangan tersebut cenderung monolitik, yakni tergantung kepada penguasa yang menggunakan faham atau madzhab mana yang dia anut untuk menentukan kebijakan negara. Yang lebih ironi, di beberapa negara meskipun bukan negara Islam, sekelompok umat Islam berani mengintervensi negara untuk mengeluarkan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan konstitusi negara tersebut.

Rujukan Utama Negara

Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki konstitusi dan aturan hukum sendiri, seharusnya mampu menyelesaikan permasalahan bangsa ini dengan merujuk kepada konstitusi (undang-undang, penj). Yang menjadi permasalahan sekarang adalah keberadaan negara cenderung mengikuti kehendak massa yang cenderung bertentangan dengan aturan hukum dan konstitusi Negara.

Ada beberapa statifikasi aturan hukum yang harus diikuti dalam menentukan keputusan-keputusan hukum. Di antara rujukan negara Indonesia yang paling fundamental adalah Undang-undang Dasar. Maka keputusan atau aturan-aturan hukum di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan aturan fundamental tersebut. Yang menjadi permasalahan adalah banyak aturan hukum turunan yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar tersebut salah satu contoh maraknya perda-perda Syari’at.

Harus difahami lebih awal yakni negara Indonesia bukan negara Islam maka aturan Hukum yang berhak hidup di Indonesia adalah aturan hukum negara bukan perda-perda Syariat yang cederung berbau negara Islam atau ingin mengislamkan. Keberadaan Syariat Islam di beberapa sisi cenderung mengalienasi kebebasan dan kemerdekaan manusia untuk beribadah dan berkeyakianan sesuai dengan agama dan kepercayaanya tersebut, sesuai dengan Undang-undang dasar pasal 29 ayat 2.

Namun bangsa ini memang bangsa yang ironi, kekuatan hukum mampu dikalahkan oleh kekuatan segelintir orang, tanpa memperhitungkan kelompok-kelompok yang memiliki pandangan yang lain mengenai aturan hukum, khususnya agama, maka tak pelak lagi banyak yang menyetarakan agama berbanding lurus dengan kekerasan. ()

Sabtu, 16 Agustus 2008

Telisik

Nasr Hamid Abu Zaid

Yusep Munawar Sofyan


Karena aku berfkir, maka aku Muslim” (Nasr Hamid)


Naser Hamid Abu Zaid merupakan salah satu pemikir kontemporer yang banyak menyita perhatian, baik dari kalangan pemikir Liberal maupun oleh kalangan konserpatif. Untuk kalangan Liberal, pemikiran Abu Zaid merupakan pemikiran yang menjadi sumber atau presfektip baru dalam melihat sebuah permasalahan (khususnya dalam membaca teks Al-Qur’an), namun bagi kaum konserpatif pemikiran abu Zaid merupakan pemikiran yang nyeleneh dan berbahaya karena dianggap akan menjadi “pengganggu” “iman” kaum muslim.


Abu zaid merupakan salah seorang pemikir Mesir yang lahir pada 10 Juli 1943 di Kuhafah. Semasa hidupnya Nasr Hamid Abu Zaid pernah di ciduk oleh aparat keamanan Mesir saat berumur 12 Tahun dikarenakan keterlibatanya dengan jama’ah Ikhwan al Muslimun yang diharamkan oleh Gamal Abdul Naser bersama-sama para pemimpin gerakan Ikhwan.


Abu Zaid menempuh studi di Universitas Kairo fakultas bahasa Arab dan Adab, selesai pada tahun 1872, kemudian menyelesaikan program masternya pada tahun 1977 pada fakultas Dirasat Islamiyah, dan mendapat gelar doktor tahun 1981.


Setelah menyelesaikan studinya Abu Zaid menjadi pengajar dibeberapa perguruan tinggi di Mesir, sebelum akhirnya promosi guru besarnya dalam bidang tafsir di eksekusi karena dianggap menyimpang dari ortodoksi yang telah pakem. Tidak hanya penolakan terhadap pengangkatan guru besar saja yang dialami oleh Abu Zaid, melainkan di tambah dengan dikeluarkanya fatwa murtad dari Islam oleh pengadilan dan Istrinya (Dr. Ibtihal Yunis) dipaksa cerai dengan abu Zaid, dengan dalih muslimah haram menikah dengan non muslim. Akhirnya karena banyaknya perlakuan tidak menyenangkan Abu Zaid meninggalkan Mesir menuju Belanda namun masih tetap berkewarganegaraan Mesir.


Pemikiran terbuka memang belum familiar di Mesir, namun seperti ditandaskan oleh Abu Zaid, “eksekusi pemurtadan terhadap dirinya adalah urusan politik.” Ujarnya. Abu Zaid mensinyalir bahwa penolakan pengangkatan dirinya dari gelar Profesor; dikeluarkanya fatwa murtad; serta diponis bercerai dengan istrinya, itu semua karena problem politik. “penyebab vonis itu adalah isu politik. Bukan karena karya saya. Buku saya sudah terbit sejak 1990. vonis itu baru muncul tahun 1993” tandasnya.

Kritik-kritik yang dilontarkan oleh Abu Zaid kepada ulama-ulama yang berlindung dalam selimut agama ternyata menuai masalah. Salah satu ulama besar yang tak luput dari kritikan Abu zaid adalah Prof. Dr. Abdu al-Sabur Syahin Imam masjid Amr ibn Ash. Syahin mengangkat isu dengan mempertentangkan pemikiran Abu Zaid dengan memparadoksikan kalangan Islamis di satu sisi dan orang-orang liberal di sisi yang lain. Kalangan Islamis ingin mengembangkan isu penyimpangan pandangan Nasr mengenai pembacaan teks ini dan mengangkatnya ke pengadilan.


Abu Zaid mengatakan bahwa “kelompok mereka menggunakan hukum untuk memecahkan masalah politik. Sejak itulah saya mengatakan ini adalah keputusan Politik”. Bila dirunut lebih jauh, permasalahan yang menimpa Abu Zaid ini tidak akan pernah lepas dari siapapun yang memiliki pandangan berbeda dari mainstream. Abu Zaid menganggap bahwa ortodoksi telah mengekang kebebasan bahkan kemerdekaan berpikir.


Pandangan Abu Zaid yang dianggap paling menyimpang dari Ortodoksi adalah keberanianya mengungkapkan pandangan-pandangan baru mengenai identitas al-Qur’an yang dianggap oleh Abu Zaid sebagai produk budaya Arab, dan pandangan lain mengenai ihwal kenabian yang dianggap suci oleh ortodoksi.


Selama ortodoksi masih dikuasai oleh kalangan esklusif, maka pandangan-pandangan yang bertentangan dengan pakem yang telah ada akan senantiasa dijegal bahkan diesklusi keberadaanya dengan dalih “menjaga iman” orang muslim. Bahkan ortodoksi agama, baik Islam, Kristen, maupun Yahudi pada dasarnya dibangun untuk mempertahankan ajaran-ajaran yang mapan dari pengaruh heretisme, yakni pemikiran-pemikiran yang dianggap menyimpang. Cap heretisme diberikan kepada pembaru dan pemikir yang memiliki pandangan berbeda dari ortodoksi. (Luthfie, 2007:236)


Ada sebuah modifikasi Lutfie atas fenomena pengapiran yang marak terjadi dewasa kini, yakni : “Pengafiran di Era Pemikiran” pandangan tersebut merupakan sebuah modifikasi judul buku Nasr Hamid Abu Zayd “Pemikiran di Era Pengafiran” (al-takfir fi al-zaman al-takfir). (Luthfie, 2007 : 233). Benarkah hal itu terjadi sekarang?

Telisik

KETIKA AGAMA MENJADI PEMECAH BELAH BANGSA

Oleh Muhammad Husnil


Belakangan ini acap terjadi peristiwa yang mencederai prinsip toleransi beragama di Indonesia. Desakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau kelompok yang mengatasnamakan Forum Umat Islam (FUI) ke pemerintah agar membubarkan Ahmadiyah merupakan contoh terang saat ini. Yang lebih brutal dan tidak berkemanusiaan adalah tindakan sekelompok massa yang, katanya, akan membela Islam pada 1 Juni 2008 silam di Monas. Dengan tanpa canggung mereka bertakbir sambil mengeroyok massa Aliansi untuk Kebebasan Keberagamaan dan Berkeyakinan (AKKBB) yang sedang melakukan aksi damai.


Tentu kita patut menyayangkan peristiwa itu terjadi di negeri yang memegang falsafah hidup bhineka tunggal ika ini. Sebuah cara pandang hidup yang memang sesuai dengan kondisi Indonesia yang sarat akan perbedaan. Memang ada kesulitan tersendiri ketika mencoba untuk saling memahami perbedaan. Namun, sulit bukan berarti tidak bisa.


Buktinya, ketika mencoba merancang bangsa, para pendiri bersepakat untuk meleburkan diri ke dalam satu identitas: Indonesia. Pada mulanya tidak mudah karena identitas promordial seperti suku atau agama lebih kuat. Bahkan tak jarang debat konsep pun terjadi. Misalnya antara Hatta, Syahrir, dan Bung karno. Namun, kesemuanya bersepakat untuk bersatu dalam Indonesia dan memperjuangkan kemerdekaan.


Bahwa kita telah merdeka dari kaum penjajah selama 63 tahun, adalah betul. Namun, bukan kemerdekaannya yang sesungguhnya. Sejatinya, negeri ini tidak pernah merdeka. Para penjajah silih berganti berdatangan ke negeri ini. Jika sebelumnya bangsa asing menjajah kita, setelah mereka pergi justru bangsa kita sendiri menjadi penjajah.

Salah satu ciri bentuk penjajahan adalah penyeragaman. Tidak boleh ada suara berbeda dari lembaga yang menetapkan. Dan itu dipraktikkan sejak orde lama, orde baru, dan reformasi. Perbedaannya: jika pada orde lama dan orde baru yang melakukan penyeragaman pemerintah, di era reformasi yang melakukannya agama. Padahal sudah terang bahwa negara ini negara hukum. Indonesia bukan negara yang bisa dipelintir oleh pemerintah untuk kepentingannya sendiri atau oleh agama tertentu demi.


Dengan status Indonesia adalah negara hukum bukan negara agama, sebagai muslim kita patut berbangga. Dengan begitu agama yang memang suci tidak ternodai oleh tangan-tangan manusia yang sarat akan kepentingan. Coba bayangkan jika ternyata para pendiri bangsa ini dahulu menyetujui negara ini sebagai negara agama (Islam). Bukan sebuah kemustahilan jika banyak saudara-saudara sebangsa kita yang terusir dari Indonesia. Dalihnya mudah saja: sesat atau keluar dari Islam.


Dengan dalih itu mereka tidak diperkenankan beraktivitas di negara ini. Jadi, bagi mereka yang dimasukkan golongan sesat memiliki dua pilihan: berpindah keyakinan atau angkat kaki dari negeri ini. Tak ada pilihan lain di luar yang dua itu. Jika tetap bersikukuh dengan pendapat mereka, jangan aneh ketika sekelompok orang melancarkan kekerasan terhadap mereka.


Tidak ada lagi pertimbangan bahwa mereka yang dinyatakan sesat itu warga negara Indonesia asli. Yang penting mereka telah dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), maka mereka tidak berhak hidup di tanah air ini. Padahal bisa jadi mereka yang dimasukkan ke dalam golongan sesat itu bukan atas kehendak sendiri. Faktor keturunan, misalnya. Siapa di dunia ini yang bisa menentukan agar lahir di keluarga yang tidak akan dinyatakan sesat. Tidak ada manusia yang kuasa atas itu.


Kalau ditilik dengan cermat tindakan kekerasan tidak murni berasal dari tingkat masyarakat bawah, tapi dari tingkat atas. Karena sebenarnya masyarakat, terutama di tingkat menengah ke bawah, tengah bergulat dengan masalah ekonomi. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat kecewa terhadap kinerja pemerintah yang tidak bisa menahan laju kenaikan harga. Biasanya orang yang kecewa mudah tersulut emosi.


Untuk meredam kekecewaan, mestinya agama menjadi penyejuk masyarakat. Tapi pada praktiknya, tidaklah demikian. Di tengah suasana yang serba tidak jelas ini MUI sebagai kelompok elit masyarakat Islam malah mengeluarkan fatwa yang meresahkan sebagian masyarakat. Tidak hanya itu, mereka melakukan pemaksaan terhadap pemerintah untuk melarang Ahmadiyah berada di Indonesia. MUI mengabaikan jasa-jasa yang telah dilakukan oleh anggota Ahmadiyah bagi bangsa ini. Saya yakin jasa-jasa mereka tidak sedikit mengingat mereka telah berada di Indonesia sejak 1925.


Selain itu, setelah peristiwa penyerangan 1 Juni 2008 silam, MUI seakan menutup mata. Padahal, para penyerang itu acap mengutip fatwa MUI untuk melegalkan aksi mereka. sebenarnya, perisitiwa ini bukan kejadian yang pertama. Ada sejumlah kekerasan yang selalu menyandarkan aksinya berdasarkan fatwa MUI. Di antaranya adalah penyerangan sekretariat Jaringan Islam Liberal (JIL) di Utan Kayu beberapa tahun silam. Dan, lagi-lagi MUI seakan tidak mau tahu bahwa aksi-aksi kekerasan tersebut bermuara dari fatwa yang mereka keluarkan.


Jika kondisi ini dibiarkan dan ternyata pemerintah tak bisa menolak MUI dalam beberapa hari atau minggu ke depan akan ada pengusiran massal warga Ahmadiyah dari negeri tercinta ini. Atau bukan tidak mungkin jika semua anggota Ahmadiyah berkumpul di suatu daerah dan menyatakan kemerdekaanya dari Indonesia.


Namun, ada sebuah fenomena menarik belakangan ini. Di beberapa daerah banyak media memberitakan tentang pertobatan yang dilakukan jemaat Ahmadi. Mereka menyatakan keluar dari Ahmadiyah dan memeluk kembali jalan Islam yang benar. Yang jadi pertanyaan, Islam yang mana? Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, atau Wahhabi? Tentu semua orang akan mengklaim golongan sendiri sebagai Islam yang benar. Masalah ini kian rumit. Dan pertanyaan yang paling utama: apakah mereka melakukan “pertobatan” tersebut berdasarkan hari nurani atau karena tekanan dari pihak-pihak tertentu. Jika ada tekanan, tentu di dalam hati mereka ajaran Ahmadiyah akan terus hidup. Bukankah menyembunyikan keyakinan atau taqiyah adalah sesuatu yang memang pernah terjadi dalam sejarah umat Islam selama ini?


Efek selanjutnya dari “bungkamnya” MUI atas aksi-aksi kekerasan adalah di kemudian hari kian banyak anggota masyarakat yang tidak percaya bahwa MUI adalah penjaga masyarakat Islam. Dan kian yakinlah masyarakat dunia bahwa Islam adalah agama yang toleran. Pada gilirannya prediksi Samuel Huntington dalam The Clash of Civilizations bahwa akan terjadi benturan peradaban betul adanya. Dan itu sudah mulai terbukti dengan gejala melemahnya sikap toleransi umat Islam terhadap perbedaan. Wallahu a’lam.


*Muhammad Husnil adalah mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah; bergiat di Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci).