MASA DEPAN KEBEBASAN BERAGAMA DI
Oleh: Kautsar Azhari Noer
Topik yang tertulis di atas dapat berarti semacam ramalan, perkiraan, atau prediksi tentang "nasib" kebebasan beragama di
Pelanggaran Kebebasan Beragama: Situasi Tahun-tahun Terakhir
Mari kita kembali kepada persoalan pertama, yaitu persoalan ramalan, perkiraan, atau prediksi tentang "nasib" kebebasan beragama di Indonesia pada masa yang akan datang. Untuk menjawab persolan ini kita harus mengetahui situasi kebebasan beragama di Indonesia saat ini. Meskipun periode pasca-Soeharto dipandang sebagai era reformasi yang memberikan kebebasan berekspresi kepada warga negara, situasi kebebasan beragama masih sangat menyedihkan. Silakan baca, misalnya, Majalah Syir'ah, No. 49NI/ Januari 2006, dengan ulasan tentang pluralisme, dan Majalah Tempo, Edisi Kemerdekaan, Edisi 14-20 Agustus 006, dengan Liputan Khusus "Sulitnya Hidup Bersama." Kedua majalah ini mengulas berbagai peristiwa kekerasan dan konflik yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.
Syir'ah, majalah yang membela pluralisme dan kebebasan beragama ini, pada edisi itu dalam rubrik-nya yang diberi nama "Syir`atuna," menampilkan judul tulisan yang menyedihkan bagi pencinta kedamaian, yaitu "Belakang Kelabu, Depan Masih Terjal." Ulasan yang ditulis oleh Saudara Mujtaba Hamdi, Pemimpin Redaksi/Penaggung Jawab Syir'ah, ini menggambarkan berbagai peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok keras atas nama agama terhadap kelompok-kelompok keagamaan minoritas dan individu yang dianggap sesat. Mengawali ulasan itu, Mujtaba Hamdi menulis, "Tahun 2005 berlalu dengan berbagai peristiwa yang menyedihkan bagi gerakan pluralisme di negeri ini. Mereka yang berbeda terus disisihkan. Yang memperjuangkan pentingnya menghargai keragaman terkena teror."[2]
Tempo, majalah mingguan yang juga membela kebebasan ini, pada daftar isinya, dengan judul "Sulitnya Hidup Bersama," menampilkan kalimat-kalimat yang meskipun benada menyakitkan bagi para pencinta kedamaian, masih memberi harapan bagi usaha memelihara kemajemukan dalam kedamaian. Kalimat-kalimat itu berbunyi, "Di usia 61
tahun, kemajemukan Indonesia kini seperti menagih ongkos: betapa susahnya hidup bersama. Intoleransi kian menjadi-jadi dan perbedaan dianggap penyakit yang mesti dienyahkan. Korban pun terus bejatuhan. Tapi, itu bukan akhir segalanya. Di penjuru negeri ini selalu ada yang masih percaya bahwa perbedaan bukan dosa, dan mereka
merawat kemajemukantu dalam damai."[3]
Mujtaba Handi membeberkan peristiwa-peristiwa teror dan kekerasan terhadap gerakan pluralisme, kelompok-kelompok minoritas, dan individu-individu yang dianggap sesat.
Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA), sebuah lembaga yang berggiat membela kemajemukan, kebebasan, dan toleransi beragama yang berkantor di Padang, diancam oleh sekelompok orang yang mengaku dari FTPS, Forum Tokoh Peduli Syariah, Sumatera Barat, untuk menghentikan kegiatan membela pluralisme.
Bererapa gereja di Bandung, Garut, Purwakarta, Indrarnayu, dan Semarang, dipaksa untuk ditutup, dibongkar, dan bahkan ada beberapa orang pemimpmriya ditangkap dengan tuduhan melakukan pemurtadan dan Kristenisasi. Para pelaku penutupan gereja-gereja itu justru bangga dengan "prestasi" mereka. "Kami telah menutup 23 gereja," kata Komandan Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan (AGAP). Kelompok inilah yang rajin melakukan aksi penutupan gereja-gereja di Jawa Barat. "Masih banyak lagi gereja yang akan kami tutup," ujar Komandan AGAP itu dalam wawancara dengan sebuah media nasional. AGAP merasa yakin dengan tindakan semacam itu. Mereka menyatakan bahwa mereka telah mendapat dukungan 21 organisasi massa Islam.[4]
Selama beberapa tahun terakhir, para anggota Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di beberapa daerah di Indonesia (Bogor, Lombok, Tangerang, Kuningan, Cianjur, dan Tasikmalaya) telah menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang menuduh Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Kekerasan itu seakan-akan didorong dan disahkan oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2005 bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat karena aliran ini mengajarkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi. Ajaran ini bertentangan dengan ajaran yang dianut mayoritas kaum Muslim bahwa Muhammad saw adalah nabi terakhir. Di beberapa tempat para penganut Ahmadiyah diancam, dan beberapa masjid dan rumah mereka dirusak dan dihancurkan.
Beratnya tekanan yang dirasakan oleh anggota Ahmadiyah Lombok menyebabkan banyak di antara mereka ingin mencari suaka ke luar negeri. "Tak ada keinginan kami keluar dari negeri ini, kecuali karena terpaksa," kata Ahmad Hidayatullah, Direktur Kampus Mubarak, Parung, dan salah seorang tokoh Ahmadiyahonesia.[5]
Perampasan kebebasan beragama di negeri ini juga menimpa diri Yusman Roy, pemimpin Pondok Pesantren I`tikaf Ngaji Lelaki di Lawang, Malang, Jawa Timur. Roy dihukum penjara selama dua tahun atas tuduhan melakukan penodaan agama, yaitu praktik shalat dalam dua bahasa: Arab dan Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Wilayah Malang mengeluarkan fatwa bahwa shalat dalam dua bahasa yang dipraktikkan oleh Roy telah menyeleweng dari ajaran Islam.
Korban lain pengekangan kebebasan beragama adalah Komunitas Eden. Lia Eden, pemimpin Komunitas itu, dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas tuduhan melanggar Undang-undang Hukum Pidana pasal 335 tentang penodaan agama. Muhammad Abdul Rachman, orang kepercayaan Lia Eden, juga diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada tanggai 23 Agustus 2006, Muhammad Abdul Rachman, setelah melalui beberapa kali persidangan, tetap dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum selama lima tahun penjara, lebih lama dari hukuman penjara selama dua tahun yang telah &,etap atas Lia Eden.
Gangguan terhadap kebebasan beragama dan berkepercayaan tidak pernah berhenti. 'Sepanjang Januri-November 2007, SETARA Institute mencatat 135 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dari 135 peristiwa yang terjadi, tercatat 185 tindak pelanggaran dalam 12 kategori. Masih menurut SETARA Institute,
pelaku 185 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah negara. Negara telah gagal melindungi dan memenuhi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bahkan negara telah bertindak sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia akibat tindakannya yang melarang aliran keagamaan dan keyakinan dan membiarkan warga/organisasi keagamaan melakukan persekusi massal atas kelompok-kelompok keagamaan dan keyakinan.[6]
Sekedar beberapa contoh dapat disebutkan di sini. Sekelompok orang yang tidak dikenal, misalnya, melakukan penyerangan terhadap rumah Asep Rahmat, pimpinan Jama'ah Dzikir Asmaul Husna al-Jabar, di Desa Karyasari, Banyuresmi, Garut. Mereka merusak dua mobil dan tiga sepeda motor. Peristiwa ini terjadi pada Oktober 2007. Sekitar 100 orang warga Enclek Sebrang, Desa Surya Bahari, Pakuhaji, Tangerang, menyerbu kelompok Pengajian Nurul Yaqin di kampung itu pada Selasa, 6 November 2007. Mereka tidak hanya mengusir para jamaah Pengajian itu, tetapi juga membakar rumah dan merusak kendaraan pemilik rumah.[7] Pada tanggal 10 Oktober 2007, sekitar 100 orang yang sebagian warga kampung Janggol, Desa Pamulihan, Kecamatan Cisurupan, Garut, menghancurkan Masjid Assalam Mirza di Kampung Pangauban, Cisurupan, Garut. Masjid itu adalah milik Ahmadiyah di Kampung itu. Banyak di antara jemaah Ahmadiyah melarikan diri dari desa mereka untuk menghindari aksi massa. Ratusan orang yang mengatasnamakan warga Tana Beru, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba, Sulawesi Selatan, menyerang sebuah rumah yang diyakini sebagai tempat ibadah jemaah Tarekat Naqsyabandivah pada 17 Novemver 2007, pukul 22.30 WITH. Rumah itu hancur dan rata dengan tanah. Beberapa orang terluka, Andi Muhammad Ridwan, pimpinan tarekat ini. Salah satu peristiwa yang menodai citra kebebasan beragama di Indonesia belum lama ini adalah pelarangan Menteri Agama HM Maftuh Basyuni atas Nasr Hamid Abu Zayd untuk menjadi pembicara pada Seminar Internasional di Malang yang digelar pada Selasa, 27 November 2007. Pelarang itu diterima Abu Zayd setelah dirinya tiba di
Para penganut agarna-agama suku dan aliran-aliran kepecayaan di Indonesia masih mengalami nasib yang menyedihkan berkaitan dengan kebebaan beragama. Hak sipil mereka masih terganjal hanya karena mereka menganut agama-agama suku dan aliranaliran kepercayaan itu. Mereka sulit, bahkan banyak tidak bisa, memperoleh akta pernikahan dan akta kelahiran dari Kantor Catatan Sipil. Mereka baru mendapat kemudahan mengurus akta pernikahan dan akta kelahiran jika mencantumkan kata "Islam," misalnya, dalam kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) meskipun Islam bukan agama yang mereka anut.
Pengekangan kebebasan beragama kelompok-kelompok minoritas di Indonesia menimbulkan beberapa akibat yang membuat mereka mengalami penderitaan dan kesulitan dalam kehidupan keagamaan, sosial, dan ekonomi. Dalam kehidupan keagamaan, kebebasan beragama bagi mereka tidak terjamin. Mereka tidak bisa leluasa melakukan ibadah meski di daerah mereka sendiri. Dalam kehidupan sosial, mereka sering dicaci-maki, dibenci, dan dimusuhi karena dianggap sesat. Perlakuan sosial yang tidak adil ini menimbulkan kesulitan ekonomi bagi mereka karena akses-akses ekonomi tertentu tertutup bagi mereka.
Salah satu akibat buruk dari pembungkaman kebebasan adalah keterpaaksaan bagi orang yang kebebasannya dibungkam untuk berperilaku pura-pura. Tidak sedikit anggota kelompok keagamaan dan kepercayaan minoritas di Indonesia terpaksa beirperilaku pura‑
pura untuk mencari aman dan kelancaran urusan kehidupan sehari-hari. Seorang anggota aliran kepercayaan atau kejawen, yang tidak menganut salah satu agama besar yang diakui secara resmi oleh negara, misalnya, terpaksa mencantumkan kata "Islam" dalam KTP-nya pada kolom agama agar segala urusan kehidupan sehari-harinya, seperti
mencari kerja dan pernikahan, berjalan dengan lancar. Jika dia tidak mencantumkan kata "Islam" dalam KTP-nya, dia akan mendapatkan banyak kesulitan dalam banyak urusan. Saya memperoleh informasi dari seorang teman yang dapat dipercaya bahwa ada seorang penganut suatu aliran kepercayaan, meskipun tidak menganut Islam, terpaksa, mencantumkan kata "Islam" dalam KTP-nya untuk kelancaran urusan hidupnya. Dia menikah dengan hukum syariat Islam melalui legalitas KUA untuk kelancaran urusan pernikahannya. Kalau ia tidak melakukan hal itu, maka ia tidak akan mendapatkan legalitas pemikahan dari negara.
Harapan Yang Masih Hidup
Situasi kebebasan beragama yang menyedihkan di
Keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang pengharaman pluralisme agama ternyata tidak menyurutkan langkah para pembela pluralisme agama di
Setelah keluarnya fatwa MUI itu. karya-karya yang mendukung pluralisme justru semakin semakin meningkat jumlahnya. Paling tidak, sebelum akhir tahun 2006, saya mencatat bahwa, di luar artikel-artikel dan esai-esai dalam surat kabar, majalah, dan jurnal, paling sedikit lima karya, baik asli dalam bahasa Indonesia maupun terjemahan, yang mendukung pluralisme, telah terbit. Lima karya itu adalah: Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran menyikapi Perbedaan, oleh Jalaluddin Rakhmat (Jakarta, 2006); Kredo Kebebasan Beragama, oleh Zakiyuddin Baidhawi (Jakarta, 2006); Melampaui Pluralisme: Etika al-Quran tentang Keragaman Agama, oleh Hendar Riyadi (Jakarta, 2006); Doktrin Pluralisme dalam al-Ouran, oleh Gamal al-Banna (Bekasi, 2006); dan Islam, Pluralisme, & Toleransi Keagamaan: Pandangan al-Quran, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, oleh Mohamed Fathi Osman (Jakarta, 2006). Karya ini telah diterbitkan dalam terjemahan Indonesianya pada 2002, yaitu Kesetaraan Kaum Beriman: Akar Pluralisme Demokratis dalam Islam, oleh Abdulaziz Sachedina, dicetak ulang pada 2007. Karya lain yang merupakan sebagai pembelaan terhadap kebebasan dan toleransi beragama adalah karya Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme, yang terbit pada 2008.
Kebijakan baru pemerintan tentang agama Khonghucu memberikan harapan yang menggembirakan bagi para penganut agama Khonghucu. Menteri Dalam Negeri mengeluarkan surat tentang pelayanan admistrasi kepedudukan penganut agama Khonghucu. Melalui surat nomor 470/336/SJ yang bertanggal 24 Februari itu, Menteri Dalam Negeri meminta kepada seluruh Gubemur, Bupati, dan Wali Kota untuk memberikan pelayanan administrasi kependudukan kepada penganut agama Khonghucu dengan menambah keterangan agama Khonghucu pada dokumen adiminstrasi kependudukan yang digunakan selama ini. Surat Menteri Dalam Negeri ini menyusul keluarnya surat Menteri Agama nomor MA/12/ 2006 tanggal 24 Januari perihal penjelasan mengenai status perkawinan menurut agama Khonghucu dan pendidikan agama Khonghucu, yang menegaskan bahwa:
a. Masih berlakunya UU Nomor I./PNPS/1- 965 khususnya dalam penjelasan agamaagama yang dipeluk oleh penduduk
b. Selanjutnya berkaitan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawman Pasal 2 ayat-(I) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dalam hal ini Departemen Agama memperlakukan perkawinan para penganut agama Khonghucu yang dipimpin oleh Pendeta Khonghucu adalah sah.
Kita mengharapkan kebijakan pemerintah ini, yang disampaikan melalui
Kita mengharapkan negara mempunyai kemauan baik dan mampu melindungi setiap warganya untuk menjalankan agama dan kepercayaannya tanpa gangguan. Negara tidak berhak mengatur aspek pribadi agama dan keperrcayaan yang bersifat individual. Negara bartugas ibarat polisi lalu lintas yang mengantur lalu lintas agama agar kendaraankendaraan agama tidak bertabrakan dan mengalami kecelakaan.
Khatimah: Rekomendasi
Pada akhir tulisan sederhana ini, ada baiknya diberikan beberapa rekomendasi sebagai upaya memelihara, melindungi dan menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan. Pertama, mendesak pemerintah untuk menindak tegas para pelaku kekerasan, baik fisik maupun non-fisik-, terhadap kelompok-kelompok keagamaan dan kepercayaan lain, dalam menyikapi perbedaan keagamaan dan kepercayaan. Kedua, mendesak pemerintah untuk tidak tunduk kepada penghakiman
[1] Disampaikan pada Kuliah Umum dan Dialog Publik dengan tema „Membincang Polemik Kebebasan Beragama di Indonesia,“ yang diselenggarakan oleh Jaringan Islam Kampus (JarIK) Jakarta dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, pada Selasa, 15 April 2008, di Auditorium Pusat Studi Jepang (PSJ) Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.
[2] Mutjaba Hamdi, “Belakang Kelabu, Depan Masih Terjal,“ Syir’ah, No. 49/VI/Januari 2006, h.18.
[3] Tempo, Edisi Kemerdekaan, Edisi 14-20 Agustus 2006, h. 4.
[4] Hamdi, “Belakang Kelabu,” h. 19-20.
[5] Tempo, “Edisi Kemerdekaan,” h. 41
[6] Tunduk Pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara atas Persekusi Kebebasan Beragama & Berkeyakinan (Jakarta: SETARA Institute, 18 Desember 2007), h. 2.
[7] Monthly Report on Religious Issues, diterbitkan oleh The WAHID Institute, Edisi 4, November 2007, h. 5-6, 8
[8] Monthly Report on Religious Issues, Edisi 5, Desember 2007, h. 1, 4, 6.