Selasa, 11 November 2008

Pembaharuan

MEMBACA PEMBAHARUAN (TAJDID) HUKUM ISLAM BERSAMA MUHAMMAD SYAHRUR

Oleh : Farid Ridwanullah*

Memahami Kembali Wacana Pembaharuan

Pembaharuan atau tajdid muncul dengan bebagai predikat seperti reformisme, modernisme, revivalisme, fundamentalisme bahkan liberalsime. Tajdid merupakan salah satu bentuk implementasi ajaran Islam setelah kepergian nabi. Oleh karena itu, tajdid merupakan tema yang sebenarnya sudah lama ada dalam dimensi kehidupan kaum muslimin di dunia Islam. Dalam kenyataannya gerakan tajdid muncul dalam bentuk yang beragam dan masing-masing mencerminkan jawaban terhadap persoalan yang mereka hadapi dalam waktu dan tempat tertentu.

Ide tajdid sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari ciri dasar ajaran Islam. Ciri ini diformulasikan dalam bentuk keyakinan bahwa pertama, Islam adalah agama yang universal, misinya adalah rahmat bagi semua penghuni alam (al anbiyâ (21) : 107). Universalitas mencakup semua aspek kehidupan manusia meliputi hubungan antara manusia dengan tuhan, manusia, dan lingkungan. Kedua, adanya keyakinan terhadap Islam sebagai agama terakhir yang diturunkan Allah yang memuat prinsip moral dan ajaran agama untuk semua umat manusia. Dasarnya adalah kehadiran Muhammad sebagai nabi penutup.

Meskipun terdapat perbedaan pandangan mengenai finalitas doktrin kenabian setelah Muhammad yakni antara Sunni dan Syiah, keduanya berbeda dalam dalam memandang ada atau tidak adanya (Holly Man) setelah kematian Muhammad. tetapi hendak dipahami bahwa berhentinya fungsi kenabian tidak berarti terputusnya petunjuk Tuhan kepada umat Islam.

Gerakan tajdid memiliki dua wajah. Pertama, mengembalikan semua bentuk kehidupan beragama pada contoh zaman awal Islam (pristine). Kedua, landasan universalitas ajaran Islam, maka gerakan tajdid kemudian dimaksudkan sebagai upaya untuk mengimplementasikan ajaran Islam sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan. Implementasi ini terutama pada ajaran yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan dan masalah-masalah kemanusiaan.

Wacana tajdid kemudian dihubungkan dengan dasar universalitas Islam yang tidak mengenal batasan geografis maupun etnis yang mencakup semua sunnatullah yang ada di alam ini. Namun sikap universalitas tersebut sering berujung terhadap ambivalensi pandangan terhadap barat, yakni disatu sisi menerima dilain hal menolaknya. Di sini Fazlur Rahman sependapat bahwa kaum muslimin seharusnya tidak menerima sikap yang menutup diri terhadap ide-ide barat, tetapi mengetahui bahwa Islam tidak disamakan dengan barat.

Muhammad Syahrur Daib sebagai salah satu pemikir kontemporer, tertarik memikirkan kelemahan dunia Islam dan pemikiran Islam kontemporer dewasa ini. Menurutnya, pemikiran Islam kontemporer memiliki problem-problem berikut:

Pertama, Tidak adanya metode penelitian ilmiah yang obyektif mengenai kajian Nash (ayat-ayat al-Kitab) yang diwahyukan kepada Muhammad. Kedua, Kajian keislaman dewasa kini sering bertolak dari perspektif lama (pakem) yang telah ada. Ketiga, Tidak dimanfaatkannya filsafat karena ada kecurigaan terhadap Barat. Keempat, Tidak adanya epistemologi Islam yang valid. Dan kelima, Produk fiqh yang ada sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas.

PEMBAHARUAN DALAM PANDANGAN SYAHRUR

Dalam membaca Sahrur, setidaknya harus mengurai pandangan Islam tentang al qur’an dan as sunnah. Dengan mengeksplorasi landasan ontologis filosofisnya. Syahrur memandang bahwa Islam yang dibawa oleh nabi muhammad adalah agama wahyu. at tanzil al hakim (al qur’an) sebagai kitab suci seharusnya tidak terikat ruang dan waktu. Pandangan universalisme ini sebenarnya tidak berbeda dengan pandangan konvensional, yang membedakan adalah mengenai definisi universalisme hukum (al qur’an) itu sendiri.

Universalisme hukum (Al qur’an) tidak berarti bahwa seseorang harus menerapkan hukum-hukum yang tertera dalam (al qur’an) secara apa adanya disemua tempat dan waktu, melainkan bahwa kesesuaian at tanzil al hakim (al qur’an) itu hanya mungkin jika aturan hukum at tanzil al hakim (al qur’an) merupakan hududiyyah hanifiyyah (terdiri dari hukum-hukum yang fleksibel dan elastis) yang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan waktu dan tempat. Hal ini berarti bahwa hukum at tanzil al hakim (al qur’an) adalah ladang untuk melakukan ijtihad dan disesuaikan dengan kondisi-kondisi objektif yang terdapat dalam komunitas manusia.

Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum syahrur menjelaskan landasan ontologis mengapa penafsiran kembali (hermeneutik) ayat-ayat hukum al qur’an perlu dilakukan. Ia memaparkan sebuah diskursus filsafat tentang hubungan antara “al kaynunah” (kondisi berada; das sein; being), “as sayrurah” (kondisi berproses; der prozes; the process), dan ash shayrurah (kondisi menjadi; das werden; becoming). Dia meyakini bahwa relasi antara ketiga kondisi tersebut merupakan suatu keniscayaan alami, dalam arti bahwa tidak ada satu kondisipun yang tidak terikat dengan kondisi-kondisi lain.

Setelah itu syahrur mengaitkan teori dialektika tersebut dengan pemahamannya terhadap at tanzil al hakim (al qur’an). Pertama, dia mengemukakan keyakinan bahwa at tanzil al hakim (al qur’an), baik teks maupun kandungannya adalah wahyu Allah. Karena itu, ia bersifat quddus dalam arti bahwa ia memiliki karakter kehidupan, yakni bahwa wahyu Allah itu eksis pada dirinya, dan pemahaman terhadapnya selalu berkembang dan dinamis, dimana as sayrurah dan ash ashayrurah dalam hal berkesinambungan. Dari sini seseorang dalam mengintrepretasikan at tanzil al hakim (al qur’an) memandang bahwa at tanzil al hakim (al qur’an) diwahyukan kepada generasinya; “seakan-akan Rasululah wafat dan menyampaikan kitab ini kepada kita”. Beranjak dari sini dapat kita pahami bahwa penafsiran terhadap at tanzil al hakim (al qur’an) itu bersifat relatif.

Berangkat dari bangunan berfikir seperti itu, syahrur memandang bahwa pemahaman dan aplikasi nabi Muhammad terhadap hukum at tanzil al hakim (al qur’an) yang biasa disebut dengan as sunnah an nabawiyyah, bukanlah sebagai “wahyu kedua”, melainkan sebagai “pemahaman awal” terhadap at tanzil al hakim (al qur’an), dalam arti ia bersifat terbatas dan relatif. Pandangan seperti itu membawa syahrur pada satu pendapat bahwa nabi Muhammad adalah mujtahid pertama yang telah membumikan/merelatifkan hukum-hukum ilahi yang absolut melalui sunnahnya yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi saat itu. Jelaslah bagi kita bahwa syahrur menekankan realtifitas dalam menafsirkan at tanzil al hakim (al qur’an), dalam arti bahwa setiap generasi mempunyai kebebasan untuk menafsirkan sesuai dengan kebutuhan zaman dan tempat serta sesuai dengan struktur ilmu pengetahuan yang tersedia.

Setelah mengeksplorasi al qur’an dan hadis sebagai dasar ontologis, Syahrur membagi metodenya menjadi dua; pertama, analisis semantik linguistik dan kedua, penerapan ilmu-ilmu eksakta modern seperti matematika analitik, teknik analitik dan teori himpunan.

Metode pertama, syahrur menerapkan teori linguistik yang pernah dilakukan oleh Al Jurjani dalam hal sinonimita (taraduf) dan komposisi (nazm). Dalam menganalisis makna kata-kata dalam Al Qur’an syahrur tampaknya menerapkan analisa “paradigma-sintagmatik”. Analisa paradigmatik adalah sebuah analisa bahasa yang digunakan untuk memahami makna kata dengan cara membandingkannya dengan kata-kata lain yang memiliki kemiripan atau justru memiliki makna yang bertentangan. Teori ketiadaan sinonimitas ini diaplikasikan secara konsisten oleh Syahrur dalam semua karya-karyanya.

Metode lain yang diterapkan oleh Syahrur untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum disebut dengan “metafora saintifik” yang diadopsi dari ilmu-ilmu eksakta modern. Dia juga memperhatikan perkembangan ilmu-ilmu sosial dalam rangka memperkuat penafsirannya. Sebelumnya, ia mengemukakan ketidak puasannya terhadap penafsiran konvesional terhadap ayat-ayat tentang hukum khususnya wasiat dan harta warisan, karena dalam penafsiran konvensional menurutnya terdapat problem-problem epitemologis dan sosial politik. Problem epistemologis yang dimaksud adalah bahwa penafsiran konvensional terhadap ayat-ayat tentang waris masih terpaku pada teori matematika klasik yang terfokus kepada proses penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian (al ‘amaliyyat al hisbiyyah al ‘arba’a). Sedangkan problem sosial politik adalah bahwa tradisi patriarkhis dan politik sangat berpengaruh pada penafsiran konvensional. Dengan demikian, wanita hampir selalu merupakan pihak yang diperlakukan secara kurang adil. Selain itu hukum waris konvensional menekankan perhatiannya kepada bagaian-bagian individu dan bukan kelompok. Wallahu a’lam.

* Aktivis JarIK Jakarta, Kuliah di Univ. Paramadina Jakarta

Tidak ada komentar: