Rabu, 12 November 2008

PEMBAHARUAN

Kritik Nalar Pembaharuan Indonesia
Oleh Yusep Munawar Sofyan

Tajdid atau yang sering disebut pembaharuan sering disalahpahami oleh sebagian orang yang mengaku mainstream, hal ini setidaknya berlaku pada kalangan umat beragama. Tradisi-tradisi keagamaan cenderung belum mampu menerima ide baru dari para pemikir kontemporer. Pemuka agama menganggap bahwa ide-ide baru tersebut bertentangan dengan ortodoksi (pakem, penj). Penolakan tersebut terlihat sangat jelas dengan adanya alienasi terhadap pemikir diantaranya Kopernikus dalam tradisi Kristen, Spinoza dalam tradisi Yahudi, bahkan pembunuhan terhadap Faraj Fouda dalam tradisi Islam.
Masyarakat dewasa kini merasa ketakutan oleh sesuatu yang dianggap baru. Padahal sesuatu yang baru bukan berarti ingin merusak, namun pembaharuan itu adalah sebuah upaya menjernihkan kembali pemahaman yang terlalu dihegemoni oleh segelintir elit penguasa agama.
Ketidaktahuan dan kemerdekaan masyrakat seolah dibatasi bahkan diperparah oleh sebuah hegemoni yang membelenggu kemerdekaan berfikir masyarakat, dalam hal ini aparatus agama. Para aparatus agama seolah telah memiliki legitimasi tuhan untuk menghukumi sesuatu, baik vs buruk; halal vs haram; sesat vs tidak sesat. Itulah klaim nalar komunitas yang kemudian menjelma menjadi aturan publik.
Aturan-aturan komunitas tersebut kini berubah menjadi aturan publik. Hal ini mengindikasikan bahwa menguatnya nalar “Islamis” warga Indonesia, namun apakah memang benar hal itu merupakan sebuah kesadaran publik, ataukah hanya hegemoni sebagian elit yang merasa “terancam” dengan pandangan-pandangan baru.
Bagaimanapun pandangan baru memiliki akar pijakan yakni pembacaan ulang mengenai pakem-pakem yang telah dianggap mapan. Kuatnya hegemoni kemapanan menyudutkan pandangan-pandangan baru tersebut. Yang lebih ironis lagi hegemoni kemapanan tersebut senantiasa dipaksakan kepada masyarakat untuk diikuti dan ditaati, sehingga yang kemudian muncul adalah klaim kafir;sesat, karena berbeda dengan pandangan pakem tersebut.
Sejak zaman nabi setidaknya tidak akan diketemukan sebuah lembaga yang mengurusi masalah keagamaan bahkan sampai ke ruang privat manusia, hal ini dapat dilihat dari pemegang otoritas penuh pada masa tersebut adalah Nabi secara langsung namun tentunya nabi meminta pendapat dan pandangan kepada para sahabat.
Dalam konteks Indonesia tentu penghakiman “keluarnya fatwa-fatwa” sangat familiar bagi masyarakat, hal ini tentu menurut sebagian kalangan berlandaskan kepada nilai-nilai agama yang mereka anggap telah mengalami perubahan dalam penafsiran oleh sebagian kelompok yang lain, sebut saja dalam hal ini adalah pandangan aliran Ahmadiyah yang dianggap berbeda bahkan dianggap menyimpang oleh mainstream.
Pandangan-pandangan yang kemudian dilontarkan adalah bahwa pandangan Ahmadiyah diangggap keluar dari Ushuliyah (Pokok, penj) pandangan keagamaan Islam. Permasalahan ushul (Pokok) dan furu’ (cabang) tentunya menjadi salah satu penyebab permasalahan tersendiri, karena mana yang disebut ushul dan Furu’ dewasa kini menjadi sangat kabur, tergantung madzhab mana yang menguasai arena pemikiran politis teologis saat itu.
Satu hal yang mungkin bisa menjadi batas pembahasan furu dan ushul adalah perbedaan pandangan antara kaum Sunni dan Syiah. Lantas apakah Furu dan Ushul dalam pandangan dua teologis besar dunia tersebut semuanya sama? Memang terdapat banyak kesamaan namun tidak jarang ditemukan banyak perbedaan antara keaduanya.
Inilah yang menjadi pendasar mengapa masalah-masalah yang kemudian muncul sering dipolitisir oleh kepentingan-kepentingan sekelompok umat yang tidak ingin kehilangan pangsa pasarnya, karena berpindah pandangan kepada hal yang lain.
Nalar Pembaharuan Indonesia

Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia, terbentang dari mulai Sabang sampai Merauke. Ragam etnik, bahasa, budaya bahkan agama menjadi hal yang tak terhindarkan dari bangsa Indonesia.
Awal-awal kemerdekaan khsususnya pada waktu persiapan kemerdekaan dalam BPUPKI dan PPKI, setidaknya permasalahan-permasalahan perbedaan-perbedaan tersebut sering diperbincangkan bahkan diperdebatkan. Pembicaraan dan perdebatan tersebut akhirnya mengkerucut –tidak bermaksud menafikan perdebatan yang lainya– menjadi perdebatan Ideologis antara Islamis dan nasionalis. Perdebatan tersebut melunak dengan keluarnya piagam Jakarta.
Namun dengan keluarnya piagam Jakarta ternyata tidak menyelesaikan masalah terbukti bahwa ada “ancaman” dari wilayah timur untuk mengundurkan diri dari Negara kesatuan Indonesia jika piagam tersebut disahkan. Dengan semangat patriotiknya Soekarno mencabut piagam Jakarta dan mengembalikan konstitusi negara kepada UUD 1945, meskipun tentunya sikap Soekarno tersebut banyak menuai kontroversi.
Kesadaran akan kemajemukan bangsa setidaknya menjadi bahan yang sangat berharga bagi para founding Father kita. Keragaman tersebut dirangkai dalam sebuah Negara kesatuan dengan Falsafah Pancasila dan landskape “Bhineka Tunggal Ika”. Namun Indahnya keversamaan tersebut dinodai oleh oknum-oknum yang ingin mendirikan Negara Indonesia kepada satu madzhab pemikiran dan agama.
Memang keinginan tersebut tidak ada yang melarang, namun apakah masyarakat memang telah menyepakati keinginan tersebut atau apakah memang keinginan tersebut terbersitdari segelintir orang? Perlu penelitian yang komprehensif untuk menjawab pemasalahan tersebut.
Namun dari beberapa pemilihan Umum sebagai sebuah standar demokratisasi masyarakat, setidaknya keinginan bahkan kesadaran untuk mendirikan Negara dengan satu pandangan keagamaan pupus, kerena dari beberapa pemilu demokratis pasca reformasi, partai-partai yang bercorak dan memperjuangkan jargon keagamaan ternyata tidak berubah bahkan kecenderungan berkurang.
Bahkan dari beberapa partai telah merubah oientasi partainya kearah-arah moderat dan menlakukan kompromi terhadap beberapa segi. Mungkin inilah fenomena kekalahan struktural pandangan mainstream, namun kekalahan struktural tersebut tidak diimbangi dengan kekuatan kultural yang semakin mengkhawatirkan dan memberangus kebebasan masyarakat.
Dimensi kultural itulah yang kini sedang diperjuangkan oleh masyarakat Indonesia yang mendambakan perdamaian di atas perbedaan. Bagaimanapun kekerasan, diskriminasi dan intoleransi bukan budaya yang diusung oleh bangsa Indonesia sejak awal mula berdirinya bangsa ini. Apakah Negara ini akan kita relakan dikuasai oleh preman-preman yang mengatasnamakan salah satu pandangan?

Tidak ada komentar: