Senin, 25 Agustus 2008

Acara JarIK Jakarta

DESKRIPSI KEGIATAN

Nama : Kuliah Umum dan Diskusi Publik

Waktu : Selasa, 15 April 2008 pukul 09.00 s/d 12.30

Tempat : Auditorium Pusat studi Jepang Universitas Indonesia (UI)-Depok

Tema : “Membincang Polemik kebebasan beragama di Indoneisia”

Selasa, 15 April 2008 yang lalu diselenggarakan sebuah kegiatan yang diselenggarakan oleh Jaringan Islam Kampus (JarIK) Jakarta dan HMI FIB-UI. Kegiatan yang bertempat di Auditorium Pusat Studi Jepang (PSJ) Universitas Indonesia tersebut bertema Membincang Polemik Kebebasan Beragama di Indonesia”. Dalam pelaksanaannya, kegiatan yang didukung oleh The Religious Freedom Project (RePro), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) itu dibagi ke dalam dua sesi: Kuliah Umum dan Dialog Publik. Sesi pertama, Kuliah Umum, menghadirkan tiga narasumber yang cukup kompeten; yakni, Prof.Dr.Franz Magnis Suseno (Guru Besar STF Driyarkara), Munasir, SH (Kuasa Hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia), dan Prof.Dr.Kautsar Azhari Noer (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah). Sesi kedua, Diskusi Publik, mengundang narasumber yang juga sangat layak dibidangnya; yakni, Prof.Dr.Melani Budianta (Guru Besar Universitas Indonesia), Dr. Abdul Moqsith Ghazali (Aktivis Jaringan Islam Liberal), Ir. Ismail Yusanto (Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia), Asfinawati, SH (Direktur LBH Jakarta).

Mengawali pembicaraan sesi Kuliah Umum, Romo Magnis menyatakan bahwa sebuah keniscayaan jika terdapat perbedaan keyakinan tentang bagaimana memaknai Tuhan dan jalan menujuNya itu. Adanya keyakinan yang berbeda jelas bukan tanggung jawab manusia atau bahkan negara. Dengan demikian, pelabelan kata sesat pada keyakinan yang dianggap berbeda telah malampaui otoritas manusia. Yang berhak menentukan sesat tidaknya suatu keyakinan hanyalah Tuhan sendiri. Komunitas keagamaan yang melihat orang atau komunitas lain tidak sejalan dengan keykinannya paling banter menyebutnya sebagai berbeda atau tidak sejalan dengan komunitas dia, selebihnya tidak. Dan negara, tugasnya adalah mengatur agar jangan sampai terjadi kekacauan tindak-tindak kriminal yang disebabkan oleh perbedaan keyakinan tersebut, bukan menghakimi.

Masih di sesi yang sama, pak Munasir menyatakan kesedihannya bahwa di negeri ini penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ahmadiyah sebagai pihak yang diintimidasi oleh kalangan Islam lainnya justru dinyatakan dilarang keberadaannya di Indonesia. “Keadilan macam apa ini!” tegasnya kesal. Kekesalan itu diungkapkan karena selama ini, menurut dia, Jemaat Ahmadiyah tidak pernah mengganggu jemaat-jemaat yang lain. Seraya menyindir para penentu kebijakan, dia berkata, “Tunggu saja kebangkrutan negara Indonesia ini jika hukum telah gagal menjadi penengah yang adil dalam menghadapi keberagaman keyakinan di Indonesia.”

Pembicara terahir di sesi Kuliah Umum, pak Kautsar, mengutarakan keyakinannya jika harapan adanya perlindungan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan itu terbuka lebar. Memang, selama beberapa tahun ini sangat nampak ancaman akan kebebasan beragama ini dari mereka yang mengatasnamakan diri dari kalangan Islam. Meskipun demikian, para pembela kebebasan beragama dan pluralisme masih belum mati, malah semakin menguat. Ini terlihat baik dari banyaknya lembaga-lembaga yang konsern di religious freedom, dan juga dari karya-karya yang bernafaskan pluralisme agama.

Setelah berjalan selama kurang lebih satu setengah jam, sesi Kuliah Umumpun ahirnya berahir dan dilanjutkan dengan sesi Dialog Publik.

Tampil sebagai moderator sesi Dialog Publik tersebut seorang intelektual muda muslim sekaligus aktivis kebebasan beragama dari Religius Reform Project, Saidiman. Mengawali sesi kedua itu dia meyatakan penyesalannya bahwa, karena kendala teknis, sebuah film dokumenter yang disebutnya sebagai “fitna 2” tidak dapat ditayangkan. “Padahal,” tandasnya, “dalam film fitna 2 tersebut sangat jelas terlihat bahwa bebepaka kalangan muslim yang tidak bertanggung jawab masih menggunakan kekerasan sebagai media dakwah.”

Narasumber pertama di sesi kedua, Ibu Melani, mengangkat tema kebebasan beragama dari persfektif multikulturalisme. Untuk mengantisipasi silang pemahaman tentang “isme” yang satu ini, dia membatasi pengertiannya sebagai “ruang” di mana keberagaman dibicarakan tanpa kekerasan dan sebuah sikap yang menghargai fakta keragaman itu sendiri. Sebagai sebuah catatan, bicara tentang “kebebasan beragama dalam persfektif mulitikulturalisme” tidak harus dimaknai sebagai relativisme agama; namun tidak juga dalam arti penyeragaman. Yang bisa kita sikapi dari persfektif ini adalah karena keyakinan di Indonesia itu sangat beragam, dan Indonesia sendiri bukan berdasar pada suatu keyakinan tertentu, maka yang harus dibicarakan adalah bagaimana fakta sosial keberagaman keyakinan itu tidak sampai berimbas pada kekerasan. Untuk itu, menjadikan hukum positif sebagai rule of the game kehidupan bersama masyarakat Indonesia menjadi sebuah keniscayaan.

Jika ibu Melani mendedahkan permasalahan beragama dan berkeyakinan dari sisi keberaragaman, maka dua narasumber selanjutnya membicarakan keberagaman agama itu sendiri dari persfektif agama mayoritas di Indonesia; Islam. Di sini, dihadirkan dua narasumber—Ustadz Ismail dari HTI dan Ustadz Moqsith dari JIL—yang sekalipun masih ada beberapa kesamaan pandangan, tapi terdapat juga pandangan yang bersebrangan.

Yang senada dari kedua narasumber tersebut adalah bahwa Quran dan Sunah sebagai sumber ajaran Islam sangat menjaga pluralitas agama atau kebebasan beragama, atau bahkan untuk tidak beragama sama sekali; dan mengecam keras tindak kekerasan terhadap penganut keyakinan yang lain. Yang berbeda dari keduanya adalah dalam pengakuan akan pluralisme agama atau pengakuan akan adanya keselamatan bagi penganut agama lain, dan dalam melihat makna perbedaan di dalam tubuh Islam sendiri.

Di satu sisi, Ismail menegaskan bahwa keselamatan di hari ahir hanya mungkin bagi mereka yang berada dalam koridor Islam. Dan, mengotak-atik ajaran Islam berarti merusak kesempurnaan Islam. Di sisi lain, Moqsith membuka peluang bagi adanya keselamatan di hari ahir bagi mereka yang bukan beragama Islam. Karena, terdapat fakta historis dimana Nabi mengakui seorang pendeta Nasrani sebagai ahli syurga. Terkait adanya perubahan dalam ajaran Islam, Moqsith pun bersikap serupa; sangat terbuka kemungkinan bagi adanya penafsiran yang berbeda atas suatu ajaran Islam tertentu.

Nah, bagaimana konsekwensi dari masing-masing pandangan (kedua narasumber) di atas terhadap kasus-kasus seperti Ahmadiyah? Bagi Ismail, Ahmadiyah adalah contoh dari ajaran yang mengacak-ngacak ajaran Islam. Maka jelas bahwa Ahmadiyah adalah ajaran yang sesat. Bagi Moqsith, sejauh prinsip kontingensi (mungkin benar dan mungkin salah) berlaku dalam setiap proses penafsiran, maka hendaknya kita menahan diri untuk melabelsesatkan setiap penafsiran-penafsiran yang berbeda.

Beranjak dari pembahasan teologi Islam, kajian hukum menjadi sangat menentukan sejauh mana kebebasan beragama itu dibatasi.

Pembicara Terakhir yakni asfinawati menjelaskan bahwa dalam terminologi hukum, pembatasan disebut pelanggaran kalau menghalangi seseorang untuk berekspresi dan berkeyakinan. Pembatasan sama dengan pelarangan karena melanggar UU 12/2005 ps.18 (1) & ( 2) ICCPR. Mengomentari permasalahan penodaan agama, Asfin menambahkan bahwa kata menodai Agama adalah masalah hukum yang problematik, karena siapa yag berhak atau bersaksi atas nama agama? Kata menodai agama terlalu luas dan tidak jelas ukuranya, siapa pemilik resmi agama?, Asfin menjelaskan bahwa fatwa-fatwa MUI baru bermasalah kalau fatwa-fatwa teersebut melakukan penghasutan untuk menghancurkan, dan menyegel barang-barang atau aset-aset korban, yang berhak untuk menyegel hanyalah prosedur hukum dan aparat pemerintah yang telah jelas ketetapan hukumnya. (Fauzan Hasanudin)

Tidak ada komentar: