Senin, 25 Agustus 2008

Tokoh

Jenar

Siapa yang menghukum mati seseorang karena iman dan pendirian, maka mereka akan mendengar sepotong kepala yang tertawa.

Tak banyak kenangan serta warisan literal-tekstualis ilmiah yang dapat dikonsumsi oleh kalangan intelektual –khususnya Muslim- era ini guna memperkokoh bangunan intelektualisme dirinya dari sosok cendekiawan sekaligus sufi yang melegenda di tanah Jawa bernama Syekh Siti Jenar itu. Padahal, pemikiran-pemikiran sufistik-foilosofisnya ternilai sarat dengan nilai-nilai intelektualisme yang mendalam yang potensial guna menjadi warisan bagi masa depan peradaban Islam. Terlebih dari itu, sederetan pemahaman serta doktrin sufistik-filosofisnya seharusnya telah menempatkannya sebagai tokoh –bahkan simbol- kejayaan peradaban intelektual Muslim. Namun, tetap saja, konteks sosial masyarakat di sekitar Jenar kala itu tak berkesimpulan secerah itu. Sejarah mengabadikan tragedi pemancungan atasnya di hadapan para wali dan petinggi istana, seolah hendak menunjukkan kesan bahwa mereka –yang kemudian menjadikan agama sebagai objek legitimasinya- tak akan pernah mengakui sebuah gagasan-gagasan pemikiran gemilang yang ‘memaksa’ untuk melampaui –bahkan menerobos- patokan-patokan pemikiran literalis-tekstualis yang telah dipatok oleh cendekiawan-cendekiawan Muslim masa lalu.

Namun, sebuah hikayat sederhanan tentang tragedi pemancungan yang menimpa Jenar di abad ke-15 atas dasar ke-‘sesat’-an pemikirannya, tampaknya cukup untuk mewakili sebuah kesimpulan bahwa Jenar adalah sosok yang menyimpan pemahaman keislaman bernuansa filosofis-sufistik yang sepatutnya menjadi rujukan bagi setiap intelektual yang hendak hanyut dalam samudera sufistik-filosofis. Sebuah hikayat dalam hal ini dirasa cukup untuk menggugah naluri sosok intelektual masa kini untuk mengembara merajut nilai-nilai serta pemikiran-pemikiran sufistik-filosofis yang mungkin tersisa dari sosok Jenar.

Alkisah, terobosan intelektualisme berupa terbangunnya pemikiran-pemikiran serta doktrin-doktrin sufistik-filosofis yang dikembangkan Jenar justru telah mengantarkannya pada tiang pancungan yang dibangun oleh kekuatan politik tirani-otoriter yang mendapat legitimasi dari sebagian cendekiawan kala itu. Pasalnya, terobosan pemikiran intelektual sufistik-filosofis Jenar dinilai telah ‘sesat’ dan menerobos sekat literalis-tekstualis doktrin-doktrin dan pemikiran-pemikiran paten yang telah digariskan oleh cendekiawan sebelumnya.

Pemancungan itu dilakukan pada hari Jum’at –setelah selesai shalat- di halaman Masjid Keraton. Tiga variabel–hari Jum’at, setelah selesai shalat dan halaman Masjid Keraton- seolah menjadi simbol penopang klaim subjektif mereka (yang telah memancungnya) bahwa legitimasi agama telah menyertai proses pemancungan petinggi agama ‘sesat’ bernama Syekh Siti Jenar itu.

Yang menarik untuk diungkap sebagai titik janggal bagi klaim ke-‘sesat’-an pemikiran Syekh Siti Jenar saat itu yaitu sebuah realitas sosial-keagamaan yang terjadi pascaproses pemancungan atasnya. Konon, kepala jenar yang telah copot dan terpisah dengan raganya tertawa, seolah menertawakan mereka yang telah mengembangkan paradigma dan perspektif negatif atas Jenar dan corak pemikiran sufistik-filosofisnya. Kepala Jenar mungkin kala itu sedang menertawakan mereka yang dinilai terlalu ‘dini’ pemahaman dan pemikiran keagamaannya untuk memahami sebuah terobosan pemikiran sufistik yang telah digagaskan sosok cendekiawan dan sufi bernama Jenar itu, khususnya tentang konsep “manunggaling kawula gusti” Jenar. Bahkan, mungkin saja saat itu kepala Jenar tertawa karena berpikir: “Mengapa mereka memancung saya?”

Tak berhenti sampai disana, kepala itu pun berseru kepada bercak darah yang telah terhampar di halaman masjid untuk kembali ke tubuh, sebab jika tidak, ia menyeru bahwa darah-darah itu akan gagal untuk masuk surga. Maka, darahnya pun cepat mengalir balik ke urat nadi, dan bercaknya tak lagi tampak tercecer di halaman Masjid Keraton. Tak berhenti sampai disana, kepala Jenar pun mengitari jasadnya sebanyak tiga kali, dan akhirnya bertaut tepat kembali ke tubuhnya. Tak ada bekas luka lagi. Bahkan, paras wajahnya mengeluarkan cahaya berderang dan mengucap salam syahdu -“Assalamu’alikum”- wujud kesantunan dan keislaman sikap Jenar dalam memandang mereka yang telah memancungnya. Syahdan, Jenar masih tetap melantunkan harapan dan do’a keselamatan atas mereka.

Momen itu memang kental dengan nuansa mistis, namun setidaknya hikayat itu hingga kini tetap bercokol melegenda dan menjadi simbol kebesaran sosok cendekiawan Muslim bernama Syekh Siti Jenar itu. Hikayat itu sekaligus telah meruntuhkan monumen legitimasi praktek diskriminasi –terlebih arakisme- dalam menyikapi terobosan pemikiran dan pemahaman intelektual-keagamaan setiap individu. Hikayat itu telah menggema di sepanjang abad sejak abad ke-15 mengisyaratkan bahwa sebesar dan sekeras apapun upaya yang dilakukan untuk ‘memancung’ pemikiran-pemikiran dan pemahaman-pemahaman ‘unik’, patut diingat bahwa masih ada yang tak bisa mati dan luput dari rumusan kata dan pikiran (lenyep ing kawekasane/pan tan kena winuwus). Sosok bolehlah terpancung oleh kekuasaan dan kekerasan, namun sebuah pemikiran tak akan pernah ‘terpancung’ pula. Ia akan terus mengalir deras menyusuri setiap generasi intelektual guna memberikan kontribusi dalam membangun tradisi serta peradaban intelektual-ilmiah yang lebih ideal di masa depan. Jenar melambangkan itu semua. Semakin ia dipancung, semakin deras pula benih-benih pemikiran dan pemahaman intelektual ‘unik’ yang tertanam dan akan bermunculan di masa depan olehnya. Tak heran jika Nancy K Florida dalam Writing the Past, Inscribing the Future melantunkan hipotesa mendalamnya atas puisi Jawa yang ditulis pada tahun 1849 –Babad Jaka Tingkir- mengenai kisah tentang Syekh Siti Jenar.



Tidak ada komentar: