Senin, 25 Agustus 2008

Agama dan kekerasan

Agama dan Kekerasan

Oleh Yusep Munawar Sofyan

Dewasa ini, agama menjadi masalah yang paling sensitif diperbincangkan. Agama bermasalah bukan hanya pada masa sekarang, namun sudah sejak dilahirkanya ke dunia ini, agama menjadi sumber masalah atau bahkan penyebab permasalahan. Salah satu penyebab agama bermasalah, dan dipermasalahkannya adalah adanya pembagian konsep antara samawi dan ardhi. Dua terminologi tersebut menjadi salah satu gap antara umat manusia dalam berhubungan yang kemudian meruncing dari permasalahan vertikal menjadi permasalahan horizontal.

Klaim-klaim pembenaran atas tindakan kekerasan pun semakin mempertegas bahwa agama memiliki unsur menindas dalam beberapa hal. Dalam beberapa tradisi, agama menjadi salah satu momok menakutkan. Salah satu contoh adalah hegemoni gereja abad pertengahan, di mana gereja menjadi barometer dalam menentukan kebijakan negara. Negara berada di bawah bayang-bayang gereja dan negara tidak mampu untuk dewasa dalam menentukan kebijakan, karena senantiasa di bayang-bayangi oleh tirani gereja.

Beberapa definisi mengenai kesatuan antara negara dan agama sempat menyeruak kepermukaan diantaranya adalah konsep yang dibawa oleh Augustinus dalam tradisi Barat dan Abu A’la Maududi dalam tradisi Islam. Kesatuan antara negara dan agama ini lebih jelas ditekankan oleh Maududi dengan konsep theodemokrasi, yakni ada tangan Tuhan yang ikut menuntun peri kehidupan masyarakat yang didefinisikan dalam al-Qur’an atau kitab suci. Selama ini, pemahaman dalam kitab suci agama menjadi dalih legitimasi untuk melakukan kekerasan. Apakah benar bahwa agama hanya memiliki ajaran yang monolitik?

Agama dan Tradisi Islam

Dalam tradisi Islam penghayatan atau penafsiran mengenai agama dan ajaranya menjadi sangat kompleks, sehingga sulit untuk mendefinisikan siapa yang benar. Urusan benar dan salah sepenuhnya menjadi hak perogatif tuhan dalam menghukumi, mengingat ada beberapa ajaran yang terlihat bias.

Dalam salah satu acara seminar di UI tanggal 15 April 2008, A Moqsith Ghazali mengutarakan bahwa argumentasi mengenai agama atau khususnya kebebasan beragama, sangat banyak varianya, setidaknya Moqsith mengutarakan pandangan atau pendapat ulama kahususnya mengenai kebebasan beragama. Tiga kerangka berpikir tersebut tentu memiliki acuan atau dasar teologis dalam pelaksanaanya. Pertama, dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menyuruh untuk berperang dan menghancurkan dengan tidak mentolelir masalah akidah seseorang (Kebebasan Beragama haram!) salah satu legitmasinya adalah ayat yang menyatakan bahwa “agama yang yang berada di sisi Tuhan adalah Islam”. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan itu harus ditegakkan dalam setiap kondisi. Terdapat ayat-ayat yang sangat toleran bahkan mengajarkan pola berhubungan antar masyarakat salah satu rujukan teologisnya adalah “Tidak ada paksaan dalam beragama”, dan ketiga, pandangan yang menyatakan bahwa agama dalam beberapa segi ambivalen, yakni di satu sisi menyuruh kepada menggunakan dalih untuk tidak toleran, sedangkan di sisi lain terdapat ayat-ayat yang mengatur pola hubungan yang toleran dan inklusif.

Tiga varian pandangan di atas setidaknya harus menjadi stereotif bahwa pandangan Islam itu tidak monolitik, karena seluruh pandangan tersebut bernash artinya banyak pilihan dalam menentukan kebijakan teologis tertentu yang akan dianut.

Namun perkembangannya di beberapa negara muslim, pandangan-pandangan tersebut cenderung monolitik, yakni tergantung kepada penguasa yang menggunakan faham atau madzhab mana yang dia anut untuk menentukan kebijakan negara. Yang lebih ironi, di beberapa negara meskipun bukan negara Islam, sekelompok umat Islam berani mengintervensi negara untuk mengeluarkan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan konstitusi negara tersebut.

Rujukan Utama Negara

Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki konstitusi dan aturan hukum sendiri, seharusnya mampu menyelesaikan permasalahan bangsa ini dengan merujuk kepada konstitusi (undang-undang, penj). Yang menjadi permasalahan sekarang adalah keberadaan negara cenderung mengikuti kehendak massa yang cenderung bertentangan dengan aturan hukum dan konstitusi Negara.

Ada beberapa statifikasi aturan hukum yang harus diikuti dalam menentukan keputusan-keputusan hukum. Di antara rujukan negara Indonesia yang paling fundamental adalah Undang-undang Dasar. Maka keputusan atau aturan-aturan hukum di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan aturan fundamental tersebut. Yang menjadi permasalahan adalah banyak aturan hukum turunan yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar tersebut salah satu contoh maraknya perda-perda Syari’at.

Harus difahami lebih awal yakni negara Indonesia bukan negara Islam maka aturan Hukum yang berhak hidup di Indonesia adalah aturan hukum negara bukan perda-perda Syariat yang cederung berbau negara Islam atau ingin mengislamkan. Keberadaan Syariat Islam di beberapa sisi cenderung mengalienasi kebebasan dan kemerdekaan manusia untuk beribadah dan berkeyakianan sesuai dengan agama dan kepercayaanya tersebut, sesuai dengan Undang-undang dasar pasal 29 ayat 2.

Namun bangsa ini memang bangsa yang ironi, kekuatan hukum mampu dikalahkan oleh kekuatan segelintir orang, tanpa memperhitungkan kelompok-kelompok yang memiliki pandangan yang lain mengenai aturan hukum, khususnya agama, maka tak pelak lagi banyak yang menyetarakan agama berbanding lurus dengan kekerasan. ()

Tidak ada komentar: