Senin, 25 Agustus 2008

wawancara JarIK dengan KAN

Transkrip wawancara Telisik dengan Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer (KAN)

Ketika persoalan kekerasan muncul dengan bermotifkan agama, maka timbul beragam tafsir dalam menyikapi hal ini. Kebanyakan orang lebih mudah menjawab dengan menuduh agama sebagai biang keladi, dan banyak pula yang secara apologetik mengelak kekerasan sebagai bagian dari agama. Untuk itu, redaksi Telisik memilih Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer untuk kami wawancarai guna menghadirkan salah satu persepektif dari tema besar agama dan kekerasan.

Telisik :

Dalam sejarah agama-agama, selain Islam, adakah tradisi kekerasan termaktub di dalamnya?

KAN :

Sejarah mencatat, setiap muncul agama baru biasanya akan diikuti dengan penentangan oleh agama lama. Ketika Nabi Isa lahir, ia dimusuhui oleh pendeta-pendeta Yahudi, hingga akhirnya disalib. Penentangan atas nama agama ini tidak hanya berlaku diantara agama-agama Ibrahim saja, tetapi seluruh agama Permusuhan itu dilakukan semata-mata atas nama agama, dan termasuk sebagai bentuk kekerasan. Penentangan ini bukan hanya dilakukan terhadap agama baru, melainkan juga terhadap sekte-sekte baru yang berbeda dengan sekte mainstream. Setiap sekte baru akan dimusuhi oleh aliran yang sudah pakem. Inilah kenyataan sejarah agama. Dalam tradisi Kristen, saat lahirnya Protestan menimbulkan pertentangan hebat hingga berdarah-darah dan memakan korban selama puluhan tahun. Umat Protestan dianggap membuat paham atau agama baru. Seseorang bisa membunuh atau melukai orang lain sebab perbedaan faham atau keyakinan agama. Persoalan teologis ini sudah dicampuri dengan kepentingan politis. Kasus lainnya terjadi dalam konteks klaim penyalahgunaan atau penodaan agama. Misalnya kisah hidup ilmuwan Galileo dan Copernicus, di mana mereka dianggap menyalahi doktrin al-Kitab. Copernicus dibunuh sebab menentang doktrin gereja, dengan mengatakan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari, dan bukan sebaliknya seperti yang diyakini gereja. Kekerasan atau permusuhan atas nama agama juga diarahkan pada penggagas teori evolusi., yang juga dianggap menyimpang dari doktrin agama. Pelanggaran-pelanggaran terhadap doktrin agama ini sekarang lazim disebut sebagai penodaan agama. Klaim-klaim penodaan agama itu terus berlangsung hingga kini.

Telisik :

Problemnya apakah kekerasan tersebut berasal dari teks agama ataukah problem penafsiran belaka yang disebabkan ambivalensi teks agama?

KAN :

Pasti itu problem penafsiran. Bila orang-orang yang melakukan kekerasan agama ditanya, mereka pasti menjawab bahwa mereka tidak bermaksud melakukan kekerasan. Namun, implikasi dari penafsiran yang eksklusif berdampak pada sikap keberagamaan yang kaku dan fanatik pada penafsiran aliran atau sekte sendiri. Mereka menganggap bahwa tafsir itu tunggal dan milik mereka sendiri. Padahal, kitab suci sangat terbuka untuk beragam tafsir. Al-Qurán saja tidak diberi catatan kaki oleh Tuhan sendiri. Itulah sebabnya, maka muncullah banyak ilmu tafsir, yang saling berbeda-beda. Sayangnya, terdapat kelompok fanatik yang memonopoli tafsir dan menginginkan tafsir tunggal. Lalu, atas nama tafsir eksklusif tersebut mereka melakukan kekerasan.

Namun, khusus di dalam Katolik lain lagi. Katolik sangat sentralistik. Jadi, di Katolik itu ada peraturan-peraturan untuk internal sendiri. Faham dan ajaran keagamaan harus sesuai dengan Vatikan. Juga buku-buku yang akan diterbitkan atas nama Katolik harus diperiksa terlebih dahulu supaya sesuai dengan Vatikan. Bila menentang aturan ini, maka seseorang bisa dikeluarkan dari Katolik. Jadi, kebebasan dibatasi sesuai dengan faham Katolik. Saya kira, untuk kasus Katolik, tidak bisa juga disalahkan seratus persen, dikarenakan faham Katolik yang memang sudah seperti itu. Meskipun demikian, ternyata justru filsafat tumbuh subur di dunia Katolik. Sebaliknya, kelompok fundamentalis malah berasal dari Protestan.

Telisik :

Lantas, adakah agama yang secara genuine tidak ada celah untuk melegitimasi tafsir kekerasan? Bagaimanakah halnya dengan agama Budha?

KAN :

Mungkin memang agama Budha itu agama yang paling damai, karena ajarannya banyak yang terkait dengan kemanusiaan seperti terlihat dalam prinsip-prinsip dasar ajarannya. Di dalam ajaran Budha, kita mungkin tidak akan menemukan ajaran-ajaran seperti potong tangan dalam syariát Islam. Agama Budha lebih sering menyebutkan perihal kasih sayang, kedamaian, pengorbanan, termasuk penghargaan terhadap makhluk hidup yang tidak boleh dibunuh. Karenanya kecenderungan gaya hidup mereka menjadi vegetarian. Bisa jadi larangan membunuh makhluk hidup itu karena menghindari kekerasan. Hal ini bisa jadi ditemukan pula dalam agama-agama lainnya seperti Jainisme dan Hinduisme. Namun, tidak bisa juga dikatakan bahwa hal ini sepenuhnya tidak berlaku dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam. Karena di dalamnya terdapat kelompok-kelompok sufisme atau tasawuf, di mana ajaran cinta kasih sangat kuat juga. Kita tidak bisa mengeneralisir, namun kan yang lebih dominan yang mana. Sekarang orang hidup berpolitik, berekonomi, berinteraksi dengan masyarakat-masyarakat lain, meski pengaruh agama tetap sangat besar. Peperangan atau konflik di dunia, walau pelakunya sebagian beragama tertentu, tidak otomatis problemnya terletak pada agama yang dianutnya tersebut. Bisa jadi problemnya adalah etnisitas dan politik. Terkadang, masalah agama campur aduk dengan kepentingan politis dan etnisitas. Dalam agama-agama timur, faktor agama ini lebih cair ketimbang pada agama-agama semitik, dalam hal konflik agama. Akhirnya, kita tidak bisa gegabah dalam melihat satu kasus, lantas mengenaralisir bahwa agama tertentu itu keras seluruhnya.

Telisik :

Bagaimana cara membedakan mana faktor yang lebih dominan dalam kasus kekerasan, antara faktor agama ataukah faktor politik, manakala agama masuk ke dalam ranah politik?

KAN :

Untuk menganalisis hal tersebut, maka harus diperiksa terlebih dahulu bagaimana faham teologisnya. Misalnya, dalam kasus Ahmadiyah, ada orang yang faham teologisnya tidak anti Ahmadiyah, akan tetapi secara politis dia mendukung isu anti Ahmadiyah. Bahkan, bisa jadi dia sebenarnya tidak paham bagaimana sebetulnya teologi Ahmadiyah. Jadi, harus dilihat bagaimana basis teologis yang dianutnya. Apakah eksklusif atau pluralis. Di samping itu, juga harus dilihat per kasus. Misal, bila tetangga Anda ada yang menginjak-injak Al-Qurán, maka sangat mungkin itu disebabkan faktor agama. Terlepas, apakah yang menginjak-injak itu orang kaya atau orang miskin. Contoh lainnya, kasus konflik di Maluku. Sangat jelas bahwa agama memang menjadi faktor utama konflik itu, namun harus dilihat lagi bahwasanya memang ada kelompok-kelompok yang sengaja memainkan isu agama itu demi kepentingan politisnya. Inilah contoh di mana saat faktor politis satu suara dengan faktor agama, sehingga menampakkan bentuk kekerasan yang nyata. Namun, sekali lagi, kita harus memperhatikan secara partikular kasus per kasusnya, dan karenanya tidak bisa digeneralisir.

Telisik :

Beberapa kasus bernuansa agama seringkali dikaitkan dengan pasal penodaan agama, bagaimana menurut bapak?

KAN :

Istilah penodaan agama itu sendiri tidak jelas dan bisa diberi multitafsir. Penodaan agama bisa diartikan secara berbeda dan bisa sangat luas. Sangat mungkin, setiap penafsiran yang berbeda bisa disebut sebagai penodaan agama. Karenanya, hal ini sangat menyakitkan. Kata penodaan agama ini bagi saya sangat fleksibel dan tergantung pada kepentingan apa dan siapa. Bisa saja kan dengan pasal penodaan agama itu, Syiáh disebut menodai agama. Misal, faham mereka bahwa imam itu maksum, padahal kepercayaan umum kan tidak. Umat Syiáh juga mengatakan bahwa para imam itu mengeluarkan hadits. Sebaliknya, kita percaya bahwa hanya Nabi yang mengeluarkan hadits. Hal yang mungkin terjadi pada Syiáh ini mungkin sudah menimpa Ahmadiyah secara aktual. Akan tetapi, bila seseorang atau suatu kelompok menginjak-injak Al-Qurán, itu jelas salah.

Telisik :

Jadi, untuk bisa memecahkan problem sekarang ini, di mana kekerasan atas nama agama banyak sekali terjadi di Indonesia, pada level mana dulu penyelesaian masalah dilakukan?

KAN :

Saya kira, dialog antar agama dan intra agama-beda faham. Tapi, memang dialog tidaklah mudah, sebab ada kelompok-kelompok atau orang yang tertutup. Untuk jangka panjang, saya kira level pendidikan yang harus dibenahi. Pendidikan yang diajarkan kepada para siswa yang mengajarkan kebencian pada kelompok lain kan masih banyak. Praktik pendidikan yang seperti ini seharusnya dibenahi. Hal lainnya, kondisi sosial-ekonomi masyarakat harus diatasi juga. Sebab, banyak orang-orang miskin dan menganggur yang sangat mudah diprovokasi. Sehingga, bila mereka dibayar dengan sedikit uang saja, mereka bersedia untuk melakukan berbagai aksi anarkis. Jadi, memang banyak unsur yang mempengaruhi terjadinya kekerasan atas nama agama. Tingkat pendidikan masyarakat juga sangat berpengaruh. Di samping juga, unsur politis yang sengaja menggunakan isu agama untuk merebut kekuasaan. Terlebih, Indonesia saat ini mendekati masa Pemilu 2009 kan. Agama bisa dijadikan komoditas politik yang efektif. Kesemua faktor-faktor ini berjalan bersamaan.

Telisik :

Jadi, bisa kita disimpulkan bahwa tidak mungkin agama secara natural mengajarkan kekerasan?

KAN :

Tentu saja. Tapi, kita jelas harus toleran dengan tafsir lain yang berbeda. Jangan dikatakan, karena berbeda tafsir maka suatu kelompok dianggap mengobok-obok Al-Qurán.

Telisik :

Jadi, bisa juga disimpulkan bahwa sampai kapan pun persoalan agama tidak akan pernah dapat terpecahkan?

KAN :

Jelas. Sampai kiamat tidak akan pernah berakhir. Sebab, tidak akan ada kebaikan tanpa adanya kejahatan. Tapi, biarpun demikian, Anda jangan berpihak pada kejahatan. Anda juga tidak mungkin menyatukan sebuah perbedaan, terlebih perbedaan faham agama. Tafsir itu tidak tunggal. Kategori kekerasan juga tidak hanya berupa kekerasan fisik saja. Mengancam keyakinan orang lain juga termasuk kategori kekerasan. Bayangkan saja, Anda menganut sebuah faham, lalu faham yang Anda yakini itu dilarang oleh orang lain. Itu kan jelas kekerasan. Ketika seseorang melarang orang lain, orang itu harus berpikir bagaimana kiranya bila dirinyalah yang dilarang. Jelas orang itu akan keberatan juga kan. Ajaran agama-agama juga sejatinya mendukung perihal penghargaan dan cinta kasih terhadap orang lain. Prinsipnya, kekerasan terjadi ketika seseorang membuat orang lain tidak nyaman. Termasuk, di dalamnya diskriminasi.

Tidak ada komentar: