Sabtu, 16 Agustus 2008

Serial Diskusi Publik

ISLAM DAN PLURALISME AGAMA

Oleh : Muhammad Ismail Yusanto (Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia)


Pluralisme (agama) mengandung 2 (dua) pengertian sekaligus: (1) Kenyataan bahwa di sana ada keanekaragaman agama; (2) Pandangan tertentu dalam menyikapi realitas keanekaragaman agama yang ada. Kesimpulan ini dapat ditelaah, misalnya dalam penjelasan Josh McDowell mengenai definisi pluralisme. Menurut McDowell, ada dua macam pluralisme: (1) Pluralisme tradisional. Pluralisme ini didefinisikan sebagai “menghormati keimanan dan praktik ibadah pihak lain tanpa ikut serta bersama mereka”. (2) Pluralisme baru yang menyatakan bahwa “setiap keimanan, nilai, gaya hidup dan klaim kebenaran dari setiap individu adalah sama”. (http://www.ananswer.org/mac/answeringpluralism.html, diakses 11/6/2005).

Dari pengertian di atas, jelas bahwa yang disampaikan McDowell bukan sekadar fakta, tetapi sudah menyangkut opini. Ini terlihat dari pandangan bahwa semua keimanan, nilai, gaya hidup dan klaim kebenaran, adalah sama/setara.


Pluralisme agama

Pluralisme agama sebenarnya lahir dari ‘rahim’ para teolog Barat Kristen. Misalnya, teolog Kristen Ernst Troeltsch (1923) melontarkan gagasan bahwa semua agama selalu mengandung elemen kebenaran; tidak ada satu pun agama yang memiliki kebenaran mutlak. Konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak tunggal. Konsili Vatikan II (1963-1965) merevisi prinsip extra ecclesium nulla salus menjadi teologi inklusif-pluralis yang menganggap semua agama adalah benar.

Teolog dan sejarahwan agama Kanada, Wilfred Cantwell Smith, dalam bukunya Towards A World Theology (1981), mengemukakan tentang perlunya menciptakan konsep teologi universal atau global yang bisa dijadikan pijakan bersama bagi agama-agama dunia dalam berinteraksi.

Pemikiran pluralisme ini kemudian dikembangkan secara khusus di negeri-negeri Muslim seperti Mesir, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan sebagainya. Fazlur Rahman merupakan salah seorang tokoh pluralisme Pakistan yang menetap di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Ia menjadi ’mahaguru’ bagi kebanyakan tokoh pluralisme di Indonesia pada saat mereka kuliah perbandingan agama di Chicago.

Benar, bahwa ada keanekaragaman keyakinan, kepercayaan atau agama di tengah masyarakat. Ini adalah kenyataan dan merupakan sunatullah. Inilah yang disebut dengan pluralitas. Namun, jika kemudian dikembangkan paham/opini bahwa semua agama benar, tidak boleh ada monopoli klaim kebenaran dan sebagainya (pluralisme agama), semua itu jelas sebuah penyesatan.


Menolak Pluralisme Agama

Pluralisme agama yang mengajarkan semua agama adalah sama dan kebenaran setiap agama adalah relatif dan karenanya setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah jelas bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran maupun hadits. Pluralisme agama bertentangan secara total dengan aqidah Islam.

Prinsip dasar aqidah Islam yang dipahami secara bulat oleh segenap umat Islam berdasar dalil yang qath’iy menegaskan bahwa tidak ada agama yang benar di atas muka bumi selain Islam. Islam adalah penutup seluruh agama-agama yang ada; menghapus agama, syari’at dan millah yang ada sebelumnya. Tidak ada satu agamapun di atas muka bumi yang boleh dipakai sebagai tatanan dalam beribadah kepada Allah SWT selain agama Islam. Mengenai soal ini, al Quran dengan tegas menyatakan:

]وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ[

Siapa saja yang mencari agama selain Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS Ali Imran [3]: 85).

Muhammad Ali ash-Shabuni dalam kitab Shafwah at-Tafâsîr, I/161, menjelaskan bahwa melalui ayat ini Allah SWT memerintahkan manusia untuk mengikuti agama Islam dan menolak agama selainnya setelah diutusnya Nabi Muhammad saw. Mereka yang ingkar akan dimasukkan ke dalam neraka dan abadi di dalamnya sehingga merugilah mereka.

Terkait dengan soal ini, nabi Muhammad, sebagaimana dituturkan Abu Hurayrah, berkata:

«وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ»

Demi Zat Yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah seorang dari umat ini yang mendengar (agama)-ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum mengimani apa saja yang dengannya aku diutus, kecuali dia termasuk penghuni neraka (HR Muslim).

Sesuai dengan ayat dan hadist di atas, Nabi Muhammad saw.—sebagai pengemban risalah Islam kepada seluruh umat manusia di dunia ini—telah menyeru raja-raja yang beragama Nasrani dan Majusi ketika itu untuk masuk Islam. Dia mengirim surat kepada Raja Najasyi di Habasyah (Abesinea, Etiopia), Kaisar Heraclius penguasa Romawi, Kisra penguasa Persia, Raja Muqauqis di Mesir, Raja al-Harits al-Ghassani di Yaman, dan kepada Haudhah al-Hanafi. Nabi menyeru mereka untuk meninggalkan agama mereka dan beralih pada Islam. Isi surat Rasulullah saw. kepada Heraclius misalnya, sebagai berikut:

«فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ اْلإِسْلاَمِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ اْلأَرِيسِيِّينَ»

Sesungguhnya aku berseru kepada Anda dengan seruan Islam. Masuk Islamlah Anda, niscaya Anda akan selamat. Allah akan memberikan dua pahala kepada Anda. Namun, jika Anda berpaling maka Anda menanggung dosa rakyat Anda (HR al-Bukhari).

Kalau betul semua agama itu benar, lalu apa perlunya nabi Muhammad ketika itu harus bersusah payah mengajak para raja, juga manusia secara umum, untuk masuk Islam? Kenapa tidak dibiarkan saja mereka tetap memeluk agama mereka masing-masing seraya dikatakan bahwa semua agama sama saja dan semua juga akan masuk surga?

Biasanya para penganjur pluralisme berdalil dengan Qs. al-Baqarah [2]: 62 dan Qs. al-Mâ’idah [5]: 69. Dalam Qs. al-Baqarah [2]: 62 dikatakan,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang Yahudi, Nashrani, dan Shabiin, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala dari Tuhan mereka dan tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka tidak pula bersedih hati.” (Qs. al-Baqarah [2]: 62).

Ayat itu oleh kelompok penyokong paham pluralisme agama dipahami sebagai dasar dalam al Qur’an bahwa agama selain Islam, yaitu Yahudi, Kristen, dan Shabiin juga benar adanya. Bahwa para pemeluk agama-agama itu, asal beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta mengerjakan amal shaleh, juga mendapatkan pahala dan bakal masuk surga. Pemahaman seperti itu salah, karena dua alasan. Pertama, pemahaman itu mengabaikan ayat-ayat lain yang menjelaskan kekafiran golongan Yahudi dan Nasrani, misalnya ayat dalam Qs. al-Bayyinah [98] atau Qs. al-Mâ’idah [5]: 72-75. Ayat 72 – 75 dari surah al Maidah menegaskan bahwa dengan klaim bahwa Tuhan adalah Almasih ibnu Maryam, juga pengakuan doktrin Trinitas, menunjukkan bahwa orang Nashrani tidak bisa disebut beriman kepada Allah. Surah al Ikhlas tegas menyebut bahwa Allah itu ahad, tidak beranak dan tidak diperanakkan (lam yalid wa lam yulad). Dengan doktrin semacam itu, surah al Maidah dalam ayat 72 – 75 menyebut orang Nashrani sebagai kafir. Dan dengan kekafirannya itu, sebagaimana ditegaskan dalam surah al Bayyinah, tempat mereka abadi di neraka. Bukan di surga. Jadi, pemahaman kaum pluralis bahwa al Quran menyokong pluralisme sama sekali tidak benar. Pemahaman semacam itu didasarkan pada metode penafsiran yang mengucilkan satu ayat, lalu ayat itu dipenjara dalam satu kotak sempit (bernama pluralisme), sementara ayat-ayat lain diabaikan begitu saja.

Kedua, bila dimaksudkan bahwa orang Yahudi, Kristen, dan Shabiin juga selamat, maka yang selamat adalah mereka yang beriman dan menjalankan amal saleh secara benar sebelum datangnya Muhammad Saw. Bukan setelah diutusnya Muhammad Saw (orang Kristen dan Yahudi sekarang). Setelah datangnya nabi Muhammad, jikalau mereka benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir, mestinya mereka mengikuti risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan masuk agama Islam.

Berdasar dalil-dalil di atas telah cukup untuk menunjukkan bahwa Islam menolak pluralisme. Sebenarnya, kelompok penyokong pluralisme telah mengetahui bahwa al-Quran dan al-Hadits secara tegas menolak ide pluralisme yang digagas oleh teolog Barat Kristen. Karena itu, mereka terlebih dulu meruntuhkan al-Quran dan al-Hadits sebagai sumber hukum yang utama bagi umat Islam sebelum mereka menjajakan pluralisme. Mereka bersembunyi di balik jargon-jargon seperti pencerahan intelektual, rekontekstualisasi al-Quran, dan sebagainya. Padahal hakikatnya mereka menyerukan untuk menomorduakan al-Quran dan al-Hadits serta menomorsatukan rujukan para teolog liberal.


Harus Dikritisi

Karena itu, paham pluralisme agama jelas harus dikritisi. Alasannya karena: Pertama, secara normatif pluralisme agama bertentangan secara total dengan aqidah Islam. Pluralisme agama yang menyatakan bahwa semua agama adalah benar: Islam benar, Kristen benar, Yahudi benar, pendek kata semua agama/keyakinan apa pun sama-sama benar, mungkin juga Ahmadiyah benar, jelas bertentangan dengan aqidah Islam. Menurut al Quran, agama di sisi Allah adalah Islam (QS Ali-Imran [3]: 19) karena hanya Islam yang diridhai Allah (QS. Al Maidah [5]: 3); agama selain Islam adalah tidak benar dan tidak diterima oleh Allah SWT (QS Ali-Imran [3]: 85).

Kedua, secara historis paham pluralisme agama bukanlah dari pengalaman kesejarahan umat Islam, namun dari orang-orang Barat sekular, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok. Misalnya pada 1527 di Paris terjadi peristiwa yang disebut The St Bartholomeus Day’s Massacre. Pada suatu malam di tahun itu, sebanyak 10.000 jiwa orang Protestan dibantai oleh orang Katolik. Peristiwa mengerikan semacam inlah yang lalu mengilhami revisi teologi Katolik dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Semula diyakini extra ecclesiam nulla salus (outside the church no salvation); tak ada keselamatan di luar Gereja. Lalu keyakinan itu diubah, bahwa kebenaran dan keselamatan itu bisa saja ada di luar gereja (di luar agama Katolik/Protestan). Jadi, paham pluralisme agama ini tidak memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Islam, tetapi diimpor dari sejarah Kristen di Eropa dan AS.

Ketiga, andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentunya Gereja harus menganggap agama Islam juga benar. Faktanya, Gereja tidak konsisten. Gereja terus saja melakukan kristenisasi yang menurut mereka guna menyelamatkan domba-domba (umat Islam) yang sesat, yang belum pernah mendengar kabar gembira dari Tuhan Yesus. Kalau dianggap Islam juga benar, mengapa kritenisasi di Dunia Islam terus saja berlangsung? Lagipula, pada 28 Januari 2000, Paus Yohanes Paulus II pernah membuat pernyataan, “The Revelation of Jesus Christ is definitive and complete” (ajaran Jesus Kristus sudah tetap dan komplit). Paus juga menyatakan, bahwa agama-agama selain Katolik memiliki kekurangan. Hanya Gereja Katolik yang merupakan jalan keselamatan yang sempurna menuju Tuhan. Pada tahun 2000 itu pula Paus Yohannes Paulus II mengeluarkan dekrit ‘Dominus Jesus’ yang secara tegas menolak paham pluralisme agama (Adian Husaini, Hidayatullah.com, 7/5/2007).

Keempat, secara politis, pluralisme agama dilancarkan di tengah dominasi kapitalisme Barat atas Dunia Islam. Karena itu, arah pluralisme patut dicurigai. Andai tujuan pluralisme adalah demi menjunjung tinggi HAM, mencegah konflik dan kekerasan atas nama agama, menguatkan perdamaian dunia dan sebagainya, maka perlu disadari:

1. Menurut Amnesti Internasional, AS adalah pelanggar HAM terbesar di dunia. Bush menyebut invasi terhadap Irak sebagai crusade. Sejak Maret 2003 ketika AS menginvasi Irak, lebih dari 650 ribu warga Irak tewas. Jadi, mengapa umat Islam, dan bukan AS, yang menjadi sasaran penyebaran paham pluralisme supaya kekerasan itu tidak terjadi?

2. Konflik dan kekerasan juga sering terjadi karena faktor politik, bukan karena motif agama. Lagi-lagi, AS-lah yang banyak menyulut konflik di berbagai negara. Di Irak, misalnya, AS sengaja menyulut konflik Sunni-Syiah dalam rangka melemahkan perlawanan di sana. Tujuannya jelas: untuk memecah-belah Irak agar mudah dikuasai.

Kelima, bila pluralisme dikatakan akan menjamin adanya kebebasan beragama. Namun, kebebasan beragama ini pada faktanya dimaknai pula sebagai kebebasan untuk menodai agama. Buktinya, Ahmadiyah yang telah lama difatwakan sesat oleh MUI, juga oleh OKI dan Rabithah Alam Islami karena dianggap menodai Islam—di antaranya karena mengklaim pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad, sebagai nabi dan mengacak-acak al Quran —tetap dibela. Sebaliknya, fatwa MUI itu justru dikecam; sebuah sikap yang tentu saja bertentangan dengan ajaran demokrasi sendiri, yang katanya menjamin kebebasan berpendapat. Pertanyaannya, mengapa yang mengacak-acak agama dibela, sementara pihak yang merasa diacak-acak justru dikecam? Pluralisme macam apa ini?

Kecaman kalangan yang menyebut diri aktivis HAM terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan melahirkan opini agar MUI dibubarkan. Bukan kali ini saja kalangan mereka mengecam MUI. Pada tahun 2005 lalu, misalnya, mereka juga menggugat MUI, sesaat setelah MUI mengeluarkan fatwa tentang sesatnya paham sekularisme, liberalisme dan pluralisme agama.


Khatimah

Jadi, sikap al Qur’an dan sunnah terhadap paham pluralisme agama sangatlah jelas dan tegas. Tidak dapat dipahami, selain bahwa paham itu bertentangan seratus persen dengan aqidah Islam. Adapun mengenai pluralitas (adanya keragaman agama-agama di tengah masyarakat), Islam bukan hanya mengakui tapi juga menjaga agar pluralitas tetap terjaga. Ia tidak boleh menjadi faktor yang menimbulkan kerusakan (mafsadat) masyarakat. Meski meyakini bahwa Islam satu-satunya agama yang benar, tapi Islam memberikan kebebasan pada siapa pun untuk memilih agama yang diyakininya serta melarang pemaksaan agama Islam. Islam juga memberikan perlindungan terhadap kegiatan dan tempat ibadah, harta, jiwa serta kehormatan warga non muslim sebagaimana terhadap warga muslim. Imam Ali berkata, ”damuhum ka damina, malumuh ka malina (darah mereka seperti darah kita dan harta mereka seperti harta kita)”.

Wallahu’alam bi al-shawab

Serial Diskusi Publik JarIK Jakarta

Universitas Indonesia, April 2008

Tidak ada komentar: