Sabtu, 16 Agustus 2008

Telisik

KETIKA AGAMA MENJADI PEMECAH BELAH BANGSA

Oleh Muhammad Husnil


Belakangan ini acap terjadi peristiwa yang mencederai prinsip toleransi beragama di Indonesia. Desakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau kelompok yang mengatasnamakan Forum Umat Islam (FUI) ke pemerintah agar membubarkan Ahmadiyah merupakan contoh terang saat ini. Yang lebih brutal dan tidak berkemanusiaan adalah tindakan sekelompok massa yang, katanya, akan membela Islam pada 1 Juni 2008 silam di Monas. Dengan tanpa canggung mereka bertakbir sambil mengeroyok massa Aliansi untuk Kebebasan Keberagamaan dan Berkeyakinan (AKKBB) yang sedang melakukan aksi damai.


Tentu kita patut menyayangkan peristiwa itu terjadi di negeri yang memegang falsafah hidup bhineka tunggal ika ini. Sebuah cara pandang hidup yang memang sesuai dengan kondisi Indonesia yang sarat akan perbedaan. Memang ada kesulitan tersendiri ketika mencoba untuk saling memahami perbedaan. Namun, sulit bukan berarti tidak bisa.


Buktinya, ketika mencoba merancang bangsa, para pendiri bersepakat untuk meleburkan diri ke dalam satu identitas: Indonesia. Pada mulanya tidak mudah karena identitas promordial seperti suku atau agama lebih kuat. Bahkan tak jarang debat konsep pun terjadi. Misalnya antara Hatta, Syahrir, dan Bung karno. Namun, kesemuanya bersepakat untuk bersatu dalam Indonesia dan memperjuangkan kemerdekaan.


Bahwa kita telah merdeka dari kaum penjajah selama 63 tahun, adalah betul. Namun, bukan kemerdekaannya yang sesungguhnya. Sejatinya, negeri ini tidak pernah merdeka. Para penjajah silih berganti berdatangan ke negeri ini. Jika sebelumnya bangsa asing menjajah kita, setelah mereka pergi justru bangsa kita sendiri menjadi penjajah.

Salah satu ciri bentuk penjajahan adalah penyeragaman. Tidak boleh ada suara berbeda dari lembaga yang menetapkan. Dan itu dipraktikkan sejak orde lama, orde baru, dan reformasi. Perbedaannya: jika pada orde lama dan orde baru yang melakukan penyeragaman pemerintah, di era reformasi yang melakukannya agama. Padahal sudah terang bahwa negara ini negara hukum. Indonesia bukan negara yang bisa dipelintir oleh pemerintah untuk kepentingannya sendiri atau oleh agama tertentu demi.


Dengan status Indonesia adalah negara hukum bukan negara agama, sebagai muslim kita patut berbangga. Dengan begitu agama yang memang suci tidak ternodai oleh tangan-tangan manusia yang sarat akan kepentingan. Coba bayangkan jika ternyata para pendiri bangsa ini dahulu menyetujui negara ini sebagai negara agama (Islam). Bukan sebuah kemustahilan jika banyak saudara-saudara sebangsa kita yang terusir dari Indonesia. Dalihnya mudah saja: sesat atau keluar dari Islam.


Dengan dalih itu mereka tidak diperkenankan beraktivitas di negara ini. Jadi, bagi mereka yang dimasukkan golongan sesat memiliki dua pilihan: berpindah keyakinan atau angkat kaki dari negeri ini. Tak ada pilihan lain di luar yang dua itu. Jika tetap bersikukuh dengan pendapat mereka, jangan aneh ketika sekelompok orang melancarkan kekerasan terhadap mereka.


Tidak ada lagi pertimbangan bahwa mereka yang dinyatakan sesat itu warga negara Indonesia asli. Yang penting mereka telah dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), maka mereka tidak berhak hidup di tanah air ini. Padahal bisa jadi mereka yang dimasukkan ke dalam golongan sesat itu bukan atas kehendak sendiri. Faktor keturunan, misalnya. Siapa di dunia ini yang bisa menentukan agar lahir di keluarga yang tidak akan dinyatakan sesat. Tidak ada manusia yang kuasa atas itu.


Kalau ditilik dengan cermat tindakan kekerasan tidak murni berasal dari tingkat masyarakat bawah, tapi dari tingkat atas. Karena sebenarnya masyarakat, terutama di tingkat menengah ke bawah, tengah bergulat dengan masalah ekonomi. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat kecewa terhadap kinerja pemerintah yang tidak bisa menahan laju kenaikan harga. Biasanya orang yang kecewa mudah tersulut emosi.


Untuk meredam kekecewaan, mestinya agama menjadi penyejuk masyarakat. Tapi pada praktiknya, tidaklah demikian. Di tengah suasana yang serba tidak jelas ini MUI sebagai kelompok elit masyarakat Islam malah mengeluarkan fatwa yang meresahkan sebagian masyarakat. Tidak hanya itu, mereka melakukan pemaksaan terhadap pemerintah untuk melarang Ahmadiyah berada di Indonesia. MUI mengabaikan jasa-jasa yang telah dilakukan oleh anggota Ahmadiyah bagi bangsa ini. Saya yakin jasa-jasa mereka tidak sedikit mengingat mereka telah berada di Indonesia sejak 1925.


Selain itu, setelah peristiwa penyerangan 1 Juni 2008 silam, MUI seakan menutup mata. Padahal, para penyerang itu acap mengutip fatwa MUI untuk melegalkan aksi mereka. sebenarnya, perisitiwa ini bukan kejadian yang pertama. Ada sejumlah kekerasan yang selalu menyandarkan aksinya berdasarkan fatwa MUI. Di antaranya adalah penyerangan sekretariat Jaringan Islam Liberal (JIL) di Utan Kayu beberapa tahun silam. Dan, lagi-lagi MUI seakan tidak mau tahu bahwa aksi-aksi kekerasan tersebut bermuara dari fatwa yang mereka keluarkan.


Jika kondisi ini dibiarkan dan ternyata pemerintah tak bisa menolak MUI dalam beberapa hari atau minggu ke depan akan ada pengusiran massal warga Ahmadiyah dari negeri tercinta ini. Atau bukan tidak mungkin jika semua anggota Ahmadiyah berkumpul di suatu daerah dan menyatakan kemerdekaanya dari Indonesia.


Namun, ada sebuah fenomena menarik belakangan ini. Di beberapa daerah banyak media memberitakan tentang pertobatan yang dilakukan jemaat Ahmadi. Mereka menyatakan keluar dari Ahmadiyah dan memeluk kembali jalan Islam yang benar. Yang jadi pertanyaan, Islam yang mana? Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, atau Wahhabi? Tentu semua orang akan mengklaim golongan sendiri sebagai Islam yang benar. Masalah ini kian rumit. Dan pertanyaan yang paling utama: apakah mereka melakukan “pertobatan” tersebut berdasarkan hari nurani atau karena tekanan dari pihak-pihak tertentu. Jika ada tekanan, tentu di dalam hati mereka ajaran Ahmadiyah akan terus hidup. Bukankah menyembunyikan keyakinan atau taqiyah adalah sesuatu yang memang pernah terjadi dalam sejarah umat Islam selama ini?


Efek selanjutnya dari “bungkamnya” MUI atas aksi-aksi kekerasan adalah di kemudian hari kian banyak anggota masyarakat yang tidak percaya bahwa MUI adalah penjaga masyarakat Islam. Dan kian yakinlah masyarakat dunia bahwa Islam adalah agama yang toleran. Pada gilirannya prediksi Samuel Huntington dalam The Clash of Civilizations bahwa akan terjadi benturan peradaban betul adanya. Dan itu sudah mulai terbukti dengan gejala melemahnya sikap toleransi umat Islam terhadap perbedaan. Wallahu a’lam.


*Muhammad Husnil adalah mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah; bergiat di Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci).

Tidak ada komentar: